Rabu, 21 Desember 2011

KUTUKAN SANG PENDEKAR

   Setelah dhuta dari majapahit yang menyerahkan surat permintaan maap atas tragedy bubat dan abu kremasi prabu linggabuana serta putri dyah pitaloka berlalu dari balerung kraton padjajaran, dari balik singgasana muncul satu sosok pemuda gagah dengan mahkota emas bertengger dikepalanya, dialah niskala wastu kencana yang mempunyai nama kecil rd. anggalarang yang telah ditabalkan sebagai putra mahkota yang kelak menggantikan ayah handanya prabu linggabuana, menjadi prabu di kedaton padjajaran.


“angger anggalarang, paman mengerti akan keputusan mu untuk menantang duel dengan mahapatih gadjah mada tidak bias ditawar lagi, namun seperti tradisi yang telah turun-temurun sebelum memegang tampuk kekuasaan dipadjajaran, dirimu harus melukukan lelaku pengembaraan selama satu tahun,tradisi inipun pernah dilakukan oleh kakek buyut, eyang serta ramandamu dimasa mudanya..”

Anggalarang Cuma diam tepekur dihadapan pamannya, dirinya menyadari betul akan tradisi yang telah berlaku dikerajaannya.

SANG DURJANA

    Mendung bergulung diatas kedaton majapahit,  sehari setelah tragedy pembantaian kesatria-kesatria padjajaran dimana sang prabu pasundan lingga buana dan putrinya dyah pitaloka ikut tewas belapati demi nama baik padjajaran, siang itu prabu anom hajam wuruk tampak duduk termenung disingasananya, hati raja muda ini seakan tercabik ribuan sembilu, niatnya untuk mempersunting dyah pitaloka sebagai permaisuri pupus sudah, dihadapan prabu hajam wuruk duduk terpekur dengan kepala tertuju ke lantai sang mahapatih gadjah mada.
“paman mada, mengapa berakhir seperti ini, bagaimana tanggung jawabku pada kerabat kerajaan padjajaran..”
Sebelum menjawab, patih berusia lanjut ini tampak menarik napas panjang seakan ada batu sebesar gunung menghimpit dadanya.
“angger prabu, semua kejadian ini tanggung jawab hamba..hamba siap mendapat hukuman..”
“paman mada, bukan masalah siapa yang bersalah dan siapa yang bertanggung jawab, namun setidaknya paman sebagai mahapatih seharusnya tahu niat saya mempersunting putri padjajaran itu bukan sekedar pelengkap sahnya seorang prabu, namun untuk menyambung tali kekeluargaan antara dua kerajaan.bukankah pendiri majapahit terdahulu yakni dyah sanggrama wijaya berasal dari pasundan juga keturunan dari lembu tal yang berasal dari sunda.”
“hamba paham angger prabu, lalu apa yang harus hamba lakukan..”
“satu hal lagi paman mada, saya hargai sumpah palapa paman, namun saya harap jangan terlalu kaku dalam pelaksanaannya..”
“hamba angger prabu…”
Mahapatih gadjah mada hanya bisa rangkapkan kedua tangannya didepan kening, patih yang telah mengabdi selama tiga decade ini haya mampu mengarahkan pandanganya dilantai kedaton.
“sekarang dengar titah saya paman mada, kirim  abu jenazah prabu linggabuana dan putri dyah pitaloka ke padjajaran, sampaikan permohonan maap saya pada rakyat padjajaran dan kerabat kedaton padjajaran, sampaikan pada niskala wastu kencana sebagai adik dari dyah pitaloka dan pamannnya mangkubumi bunisora suradipati..”
“sendika angger prabu, hari ini juga hamba akan mengutus telik sandi untuk berangkat ke padjajaran..”
Setelah merangkapkan kedua tagannya didepan kening, mahapatih gadjah mada langsung beringsut meninggalkan balai singgasana .
Langkah mahapatih gadjah mada ini terhenti ketika sesosok tubuh tampak berdiri sambil menundukan wajahnya ketanah rerumputan halaman istana.
“demung wira, kalau saja aku tidak mempertimbangkan jasamu, saat ini juga kepalamu menggelinding dialun-alun selatan..”
“ampunkan hamba mahapatih, semua ini salah hamba..hamba siap mendapat hukuman…”
“ssrrreeett..!!”
Mahapatih gadjah mada lantas cabut bilah keris dari warangkanya
“dalam pemerintahan, tidak ada istilah anak buah atau bawahan yang salah, justru pemimpinlah yang harus bertanggung jawab, karena tidak becus mengurus anak buahnya, puluhan kali musuhku tewas diujung keris ini dengan sebuah alasan, namun tragedy bubat telah mengotori pamor keris ini membunuh tanpa alasan yang jelas..”
Mahapatih gadjah mada pandang lekat-lekat prajurit bawahannya yang tampak tertunduk diam, kalau menuruti amarahnya..ingin rasanya saat itu juga menikamkan bilah keris itu ke tubuh demung wira.
“dengar baik-baik demung wira, kau aku tugaskan untuk  berangkat ke padjajaran, sampaikan surat dari prabu hajam wuruk  pada mangkubumi bunisora, beserta abu jenazah ini, ingat apapun yang akan dilakukan mangkubumi terhadap dirimu kau harus menerimanya..bawalah kerisku ini  dan serahkan pada mangkubumi bunisora..”

ooooOoooo

     Kita tinggalkan sejenak pulau jawadwipa, nun jauh diseberang lautan sana tepatnya negri Hindustan, setelah menendang jasad rajes kedalam jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya, dengan sigap sanjaya lesatkan tubuhnya terjun menyusul jasad rajes yang meluncur dengan deras kedasar jurang dan dengan enteng jejakan kakinya diatas tubuh rajes yang terus meluncur dengan cepat, rambut gondrong sanjaya tampak berkibar begitu melewati gumpalan kabut yang melayang mata tajam pemuda ini sekilas melihat sebuah gua didinding jurang disebelah kanannya, maka dengan sigap kaki kirinya jejakan sekali ke tubuh rajes dan dalam satu lompatan pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini telah sampai didepan mulut goa, sementara jasad malang rajes terus meluncur kedasar jurang.
“hemmm..gua ini begitu luas dan sangat indah, apakah ini kediaman pertapa sapta raga..”
Membatin sanjaya sambil tangan kakannya meraba gagang pedang sangga buana yang ada dipunggungnya.

Sanjaya terus melangkahkan kakinya menyusuri relung-relung gua yang cukup besar ini, stalagtit dan stalagmit tampak terpancang dengan kokoh, suara tetesan air terdengar berkecipuk menyuarakan nada alam nan abstrak.
Telinga tajam pemuda ini sesaat mendengar suara berdesir dari belakang punggungnya, dengan sigap sanjaya lesatkan badannya keatas, jungkir balik beberapa kejap diudara dan ketika jejakan kembali ketanah sebuah benda halus dirasakan melibat kaki terus menjalar keatas dan dalam sekejap tubuh sanjaya telah terbungkus oleh sebuah kain sutra ungu dengan kuatnya, pemuda dengan parut melitang dipipi kirinya ini lantas salurkan tenaga inti disekujur tubuhnya kain sutra ungu tampak bersinar oleh kekuatan inti dari dalam tubuh sanjaya.
“hihihihi…jurus kuntum kilat melecut raga apa bagusnya..bagiku itu seperti mainan anak bau kencur…”
Suara lantang tapi merdu terdengar bergema memantul didinding-dinding goa, namun sang empunya suara tak tampak batang hidungnya.
“hai..siapapun andika, unjukan rupamu..dan lepaskan aku dari libatan kain ini..”
Teriak sanjaya lantang, bukannya terlepas malah kain sutra ungu yang melibat tubuh sanjaya semakin erat detik kemudian tubuh pemuda ini terangkat dan terlempar dengan keras kedinding goa, pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini, sekarang terlihat menempel dengan erat dinding gua…sebelum pemuda ini kehilangan kesadarannya sekejap satu sosok bayangan putih melesat menghampirinya, namun pemuda ini telah terbuai kealam bawah sadarnya.
“puluhan tahun tlah berlalu…hari ini, aku dapat menyaksikan kembali kedahsyatan jurus kuntum kilat melecut raga, siapakah pemuda ini..apa hubungannya dengan windu kuntoro..”
Sosok perempuan berjubah putih dengan sekuntum bunga tanjung berwarna ungu yang terselip digelung rambutnya ini lantas kebut jubahnya beberapa kali, sebersit sinar ungu melesat kearah pangkal leher sanjaya membuyarkan totokan pemuda ini yang masih menempel didinding goa.
Perlahan sanjaya membuka matanya, sesaat pemuda ini tampak takjub melihat satu sosok yang sangat mempesona dihadapannya
“siapa kamu anak muda, berani menyatroni kediamanku…”
“namaku sanjaya, jauh dari tanah jawa ke Hindustan ini mau menyambangi pertapa sapta raga, apa nyisanak mengetahuinya..”
“apa hubunganmu dengan orang bernama windu kuntoro..”
“windu kuntoro, aku tidak mengenalnya nyisanak..”
“lalu jurus kuntum kilat melecut raga yang barusan kau pamerkan itu, kau dapat dari mana..”
“dari guruku nyisanak..”
“siapa gurumu…”
“turunkan aku dulu nyisanak, baru akan kuberitahu siapa guruku..”
“kurang ajar, ucapanmu..disini aku yang berkuasa..katakan siapa gurumu..atau aku tinggalkan kau agar dimakan kelelawar-kelelawar hantu penghisap darah penghuni goa ini..”
“baik..baik..nyisanak..guruku bernama wiku dharma persada, pemimpin partai halilintar sewu..”
“sudah kuduga…”
Seberkas cahaya ungu kembali melesat dari lengan jubah perempuan dengan kuntum bunga tanjung yang terselip dirambutnya, membuyarkan pengaruh magnet yang membuat sanjaya menempel didinding goa, dan dengan ringan tubuh sanjaya kembali menjejak lantai goa.
Namun alangkah kagetnya sanjaya, begitu memandang kedepan perempuan nan anggun ini telah raib dan yang tampak sekarang adalah satu sosok lelaki paruh baya dengan jubah hitam dan rambut yang keseluruhannya berwarna putih keperakan..
“hah…apakah pandangan ku yang salah..atau…” sentak sanjaya
Orang tua berjubah hitam dengan rambut panjang keperakan ini ganda tertawa
“hahahaha…kadang, orang hanya menilai penampilan luarnya saja…”
“siapakah..kisanak ini…”
“anak muda, tak usah heran..perhatikan baik-baik….”
Sosok lelaki berjubah hitam dengan rambut keperakan ini lantas rangkapkan kedua tangannya didada, detik berikutnya pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini dibuat terperangah ditempatnya, bagaimana tidak dalam beberapa detik sososk berjubah hitam dengan rambut keperakan ini dapat merubah wujudnya menjadi beberapa sosok yang berbeda, bahkan dapat merubah wujud menjadi sosok sanjaya lengkap dengan parut melintang dipipi kirinya.
“pertapa sapta raga..andalah yang selama ini menjadi tujuanku kemari…”
Ujar sanjaya sambil jatuhkan lututnya ketanah..
“bangunlah anak muda, aku tidak butuh penghormatan darimu dan dari siapapun, sesungguhnya penghormatan yang berlebihan seperti barusan kau lakukan, hanyalah biasa dilakukan oleh jiwa-jiwa yang sakit..dan bermental busuk…”
Dada sanjaya berdesir manalaka orang berjubah hitam dan berambut keperakan selesai mengucapkan kalimatnya, agaknya pemuda ini merasa tersindir.
“katakana apa keperluanmu menemuiku, apa kau diutus oleh gurumu itu..”
“benar pertapa sapta raga, guru menitipkan benda ini untuk diserahkan pada pertapa..”
Sanjaya lantas angsurkan pedang mustika sangga buana pada pertapa sapta raga
“pasti ini pedang sangga buana itu…”
Ujar pertapa sapta raga lantas mengambil pedang yang diangsurkan sanjaya, diusapnya bilah pedang itu beberapa kali lantas diciumnya dengan khidmat
“guru mengembalikan benda pusaka sebagai hak pertapa…”
“sangga buana…sayang pedang ini telah ternoda..darah-darah tak berdosa..”
Sekali lagi sanjaya tersentak dibuatnya, karena memang selama ini pedang sangga buana telah berlumuran darah-darah dari orang yang menghalangi tujuannya untuk menguasai dunia rimba hijau persilatan tanah jawadwipa.
“gurumu windu kuntoro, atau kau lebih mengenalnya dengan sebutan wiku, tentu tak segampang itu mau menyerakan mustika batu bulan yang kini telah menjadi bilah pedang yang maha dahsyat tentu kau mengharapkan imbalan dari ku…”
“saya..”
“kau mengharapkan apa dari ku anak muda…”
Secara singkat dan jelas, sanjaya menuturkan bahwa partai halilintar sewu dalam masalah besar karena kitab pusaka milik perguruan yang berisi jurus pamungkas telah dicuri oleh manggala atau si arit iblis..(baca episode pertama, rajah kala cakra, pen)
“pencuri yang kecurian. Maling yang kemalingan.”
Gumam pertapa sapta raga sambil letakan pedang sangga buana disebuah lempengan batu pipih disebuah dinding goa
“maap pertapa sapta raga…”
“panggil saja diriku lindu bergola…gelar hanya akan membuat kita lupa jati diri dan asal kita..”
“baik, bagaimana kalau saya panggil paman guru..”
“terserah kau saja anak muda…”
“bagaimanapun juga paman guru merupakan saudara seperguruan dari wiku dharmapersada, walau tega semasa hidup apakah tega juga disaat menjelang ajal…”
Pertapa sapta raga atau lindu bergola tercenung sesaat, walau wiku dharma persada pernah mencurangi dirinya, bagaimanapun ikatan saudara perguruan tetaplah ada ini kali ucapan sanjaya telak menghujam sanubari orang tua berjubah hitam ini.
“baiklah sanjaya kau kuangkat menjadi muridku…”
Sanjaya kembali menjatuhkan lututnya ke tanah, kali ini pertapa sapta raga hanya membiarkannya saja.

ooooOoooo

     Sang bagaskara perlahan bergulir kearah barat, semilir angin berhembus menuruni lereng sebuah bukit merontokan daun-daun kering waringin putih, dari arah selatan beberapa sosok bayangan hitam tampak melesat menaiki sebuah bukit, dipertengahan lereng bukit bayangan-bayangan hitam ini hentikan larinya, didepan sana meremang sebuah bangunan berbentuk kubus yang kesemuanya terbuat dari batu andesit.
“tunggara, apa kau yakin ini tempatnya…”
“sudah dapat dipastikan manggala, menurut penyelidikan anak buahku..tempat inilah yang disebut kuburan mustika milik wiku dharma persada..”
“baiklah siagakan laskar kita, mungkin wiku gadungan itu kini berada didalamnya setelah partainya kita bumi hanguskan kemarin…warok sampar kombayoni apa laskarmu juga sudah siap..”
“tak usah meragukan laskar dari alas roban manggala..”
Sentak orang tinggi besar bercambang bawuk sambil membolang balingkan tombak pendek bermata trisula miliknya.
Warok sampar kombayoni merupakan pemimpin partai rampok alas roban, dan terpaksa bergabung dengan manggala karena partainya ditundukan oleh manggala yang kini menjadi raja diraja pemimpin partai rampok yang disegani dengan cara menundukan para pemimpin-pemimpin rampok diantero jawa bagian timur sampai tengah dan barat dengan jurus kuntum kilat melecut raga tingkat akhir yang dipelajari manggala melalui kitab mustika yang dicurinya dari wiku dharma persada ketika manggala menjadi murid wiku dharma persada.
(baca, episode awal. Rajah kala cakra, pen)
“sangaran..apa bekas anak buah partai halilintar sewu yang tersisa sudah kau bereskan..”
“sudah tuan manggala, anak buah ku telah mengurusnya..yang menyerah kita paksa bergabung dipartai tuan manggala dan yang membangkang kami tuntaskan diujung rantai maut kami..”
“bagus..sangaran..baiklah, mari kita mulai…”
Diawali suitan-suitan panjang dan keras, puluhan bayangan hitam dari berbagai penjuru tampak berlompatan dan dalam sekejap telah mengurung bangunan berbentuk kubus yang keseluruhannya terbuat dari batu andesit.
“wiku dharma persada..keluar kau..dari tempat perembunyian mu…”
Teriak manggala keras sampai menggetarkan pohon-pohon waringin putih hingga sebagian daunnya luruh berhamburan.
Belum kering gema suara manggala dari tenggorokannya, bangunan kubus batu andesit tampak melesak kedalam tanah disusul sekelebatan bayangan putih, tak lama satu sosok lelaki pelontos berselempang kain putih dengan bulatan enam dikepalanya, kini tampak berdiri tiga langkah dihadapan manggala si arit iblis.
“akhirnya kau keluar juga wiku…kau masih ingat aku…”
“murid murtad, apa yang telah kau lakukan dengan partai halilitar sewu..”
“hahahah..pemimpin macam apa kau, partainya porak-poranda, malah kongkow-kongkow disni, mana itu sanjaya murid kesayangan mu itu, gara-gara anak tengik itu aku kehilangan tangan kananku ini..”
Sentak manggala sambil megacungkan tangan kanannya yang kini telah disambung oleh semacam logam dengan ujung arit berwarna merah.
“kelak sanjaya akan mencari dan membunuhmu..manggala..”
“ooohhh begitu..hahaha..bagaimana seandainya sanjaya tahu kalau sebenarnya dirimu dulu akan membunuhnya..”
“jaga ucapanmu manggala, kembalikan kitab mustika halilintar sewu..”
“baiklah..ini aku kembalikan beserta nyawamu..”
Selesai berkata seperti itu tubuh manggala tampak melesat keatas jungkir balik beberapa kali diudara dan kebutkan lengannya yang seketika bermunculan puluhan bayangan arit berwarna merah menghujam wiku dharma persada.
“BBBUUUUUUMMMM…!!!!!”
Dentuman memekakan telinga menggelegar ditempat itu, tapi dengan gesit wiku dharma persada telah beralih tempat diatas sebuah pohon kiara
“apa pemimpin partai halilitar sewu bisanya Cuma berloncatan saja diatas pohon seperti seekor ketek..hahahah…”
Sekali lagi manggala kebutkan lengan kananya kecabang pohon dimana wiku dharma persada berada…
“BBBHHHUUUMMM…!!!!”
Kembali terdengar dentuman yang keras disusul hancurnya pohon kiara menjadi bubuk berwrna merah, namun ini kali wiku dharma persada telah berada satu jengkal disamping manggala dan dengan cepat sarangkan tendangan berantai nya..
Manggala tersentak, namun tendangan kilat yang dilancarkan wiku dharma persada telak menghujam lambungnya, manggala tampak terhuyung melihat lawannya lengah dengan cepat wiku dharma persada kembali lancarkan serangannya, namun kini dihadapannya telah menghadang sosok tinggi besar dengan tombak pendek dengan ujung trisula.
“hahaha..hebat juga kau wiku, tapi sekarang aku lawanmu..”
“warok sampar kombayoni…”
“kau masih mengenalku, hari ini aku menagih dendam duapuluh tahun yang lalu, ketika dulu kau mengalahkan ku…”
“kau juga penghianat..warok sampar… menyesal dulu aku mengampuni mu” sentak wiku dharma persada
“hahah…kau sudah waktunya rehat wiku..sah-sah saja kan aku mau berserikat dengan siapa..”
“kau juga..sangaran…” sentak wiku dharma persada geram
“hahaha…kasihan kau wiku, diakhir kejayaan orang-orang dekatmu sendiri yang menghianati dan sekaligus membunuhmu…ayooo..kawan-kawan..kita bereskan orang itu…”
Sentak manggala yang kini tampak bersandar dibatang pohon angsana.
Serentak puluhan orang berpakaian hitam yang sedari tadi mengurung tempat tersebut melesat kearah wiku dharma persada, pertarungan yang tak seimbangpun pecah..

ooooOoooo

kita tinggalkan sejenak, wiku dharma persada yang tengah dikeroyok bekas anak buahnya
     Ditempat lain, demung wira yang tengah diutus oleh mahapatih gadjah mada untuk menyampaikan abu kremasi prabu lingga buana dan putri dyah pitaloka serta surat dari prabu anom raja sanegara hajam wuruk telah sampai dipadjajaran dan diterima di balerung oleh sang mangkubumi bunisora suradipati.
Selesai membaca surat permohonan maap dari prabu hajam wuruk, mangkubumi bunisora suradipati tampak menarik nafaspanjang dan berat.
“seharusnya yang menerima abu kremasi ini adalah anggalarang atau niskala wastu kencana sebagai anak dari sang prabu linggabuana, tapi karena beliau sedang menjalankan lelaku sebagai calon pengganti raja yang telah mangkat, maka saya selaku pamannya yang bertanggung jawab mengurus istana padjajaran..”
“ampun gusti mangkubumi, mahapatih gadjah mada memberikan kerisnya pada paduka..niskalawastu kencana…”
Ujar demung wira sambil mengangsurkan keris milik mahapatih gadjah mada yang langsung diterima oleh mangkubumi bunisora.
“oohh..jadi ini, keris yang menggemparkan nuswantara dengan sumpah palapanya itu, baiklah perwira..surat telah kami terima, biarlah anggalarang sendiri yang akan memutuskannya..”
“kalau begitu saya pamit kembali ke majapahit..”
“silahkan perwira..”
Sepeninggal demung wira, dari balik dinding kedaton, satu sosok pemuda tegap berparas cakap Cuma diam sambil mengepalkan kedua tangannya, sososk ini tak lain dari angga larang atau niskala wastu kencana calon pengganti prabu lingga buana.
Selesai

Segera menyusul : KUTUKAN SANG PENDEKAR
Salam Bhumi deres mili
penulis










TRAGEDY PATREM SAKA DOMAS


     Mentari baru saja menampakkan sinarnya yang hangat ketika sekitar lima buah perahu layar besar merapat dipelabuhan tuban, tak lama dari dalam perahu berloncatan beberapa orang bertampang gagah berpakaian prajurit lengkap dengan tameng dan tombak ditangan mengawal satu sosok lelaki dengan mahkota gemerlapan bertengger dikepalanya sedang dibelakangnya berjalan dengan anggun satu sosok dara ayu berpakaian ringkas berwarna merah hati dengan sebilah pedang hijau terselip dipinggang kirinya.
“paman rakyan jalawatra, apa kedaton majapahit masih jauh dari sini..”
“maap gusti prabu, dari pelabuhan tuban kita akan melanjutkan perjalanan berkuda kearah timur, kurang lebih setengah hari kita akan sampai ditapal batas majapahit..”
“baiklah, putriku dyah pitaloka..dirimu dan ibundamu menaiki tandu, sedangkan aku akan berkuda bersama rakyan jalawatra didepan..dan kalian para prajurit kawal kami disamping kanan dan kiri serta belakang..”
“baik gusti prabu..”
Rombongan yang tak lain dari prabu lingga buana, raja agung pasundan yang bermaksud menyelenggarakan pernikahan atas putri padjajaran dyah pitaloka dengan raja majapahit raja sanegara prabu hayam wuruk ini lantas naik keatas punggung kudanya dan tak lama iring-iringan calon pengantin ini bergerak meninggalkan pelabuhan tuban.

EMBUN MERAH SEMENANJUNG HIMALAYA

     Bulir-bulir salju perlahan menitik dari angkasa menerpa kepala dua sosok tubuh yang tampak duduk bersila diatas sebuah tebing batu yang curam, tak menunggu lama gundukan salju terlihat menyelimuti sekujur tubuh keduanya hingga sebatas leher, namun kedua pemuda berambut gondrong ini seakan tak memperdulikan dinginnya salju dan terpaan angin yang seakan membeset permukaan kulit bak sembilu itu, kedua sosok ini tetap tak bergeming seolah gundukan batu karang yang kokoh.
Tak lama dari empat penjuru mata angin menderu dengan dahsyat kilatan-kilatan berwarna keperakan mengurung kedua sosok ini dengan cepat, saking cepatnya kilatan-kilatan berwarna keperakan ini tampak berpendar kesegala arah
“Dhhhhuuuaaaarrrr…!!”
Dentuman keras menggelegar mengguncang tempat dimana kedua sosok ini masih duduk bersila dengan gundukan salju yang membenamkan keduanya hingga leher, titik-titik salju semakin rapat turun dari langit, detik berikutnya kawasan itu dilanda badai salju yang ganas hingga radius seratus meter.

Tiga bulan kemudian

     Sosok kerempeng dengan selempang kain putih tampak melangkah dengan tenang diantara bulir-bulir salju yang menitik dari angkasa, gundukan salju yang berada didepannya seakan bagai gumpalan kapuk yang lunak diterjangnya dengan mudah, tiga langkah dihadapan sebuah gundukan salju yang besar sosok kerempeng dengan selempang kain putih ini hentikan langkahnya.
“keluarlah, masa pertapaan kalian telah usai..”
Walau pelan ucapan yang keluar dari bibir orang tua berselempang kain putih ini namun mampu menggetarkan gundukan bongkahan salju dihadapanya hingga luruh kebawah, dan dari dalam gundukan salju terlihat dua sosok tubuh  dalam posisi bersila.
“sifu zen..”
Ucap kedua pemuda ini bersamaan, sambil rangkapkan kedua tangan masing-masing didepan dada
Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil sifu zein ini Cuma tersenyum simpul
“murid-murid ku.. perlihatkan padaku hasil dari latihan kalian..windu kuntoro kau duluan..”
“baik sifu zen..”
Pemuda gagah bernama windu kuntoro ini lantas rangkapkan kedua tanganya didepan dada detik berikutnya sosoknya tampak melesat keatas jungkir balik beberapa kali diudara dan begitu kebut telapak tangan kanannya kedepan seberkas sinar putih kebiruan melesat dari telapak tanganya dan dengan dahsyat menerpa sebatang pohon pinus hingga menjadi bubuk berwarna biru.
“jurus kuntum kilat melecut ragamu nyaris sempurna, windu kuntoro kau harus banyak berlatih hingga tingkat ketiga bisa kau kuasai..”
“baik sifu..”
“nah sekarang giliran mu lindu bergola..”
Pemuda dengan perawakan jangkung ini rangkapkan kedua tangannya didada dan dalam satu kelebatan sosoknya tampak menjadi tujuh bayangan yang berbeda.
“lindu bergola, jurus tujuh bayanganmu sudah sempurna..murid-muridku kemarilah ada sesuatu yang musti kalian ketahui..”
Kedua pemuda ini lantas duduk bersila diatas salju dihadapan gurunya
Sifu zen lantas memasukan tangannya dibalik kain putih, dua buah benda tampak berada dalam kedua tangannya
“kitab pusaka mustika halilintar ini baru akan aku berikan begitu jurus kuntum kilat melecut raga level pertama bisa kau sempurnakan windu kuntoro, dan batu bintang sangga buana ini bisa dijadikan pedang mustika paling hebat bila jurus tujuh bayangan lindu bergola telah mencapai level ketujuh..sekarang kalian boleh beristirahat..”
“baik sifu..”
Ujar windu kuntoro dan lindu bergola bersamaan, namun begitu orang tua berselempang kain putih ini balikan badan, tak disangka secara bersamaan kedua pemuda ini lancarkan serangan mematikan dan telak mengenai anggota badan yang sangat vital dari sifu zen,  tubuh orang tua ini seketika ambruk diatas salju genangan merah terlihat menetes dari sela-sela bibir orang tua ini menetes diatas hamparan putihnya salju, yang seketika menjadi merah.
“durjana apa..apa..yang..kalian lakuka..kan..”
Ujar orang tua berselempang kain putih ini terbata-bata
Tapi tanpa belas kasihan kedua pemuda ini kembali menyerang secara serentak, hingga detik berikutnya sifu zen terkapar diatas salju, nyawanya putus sudah dengan meninggalkan tanda Tanya dalam hatinya, mengapa kedua muridnya begitu tega menghabisi dirinya.
Sementara itu, setelah membunuh sang guru windu kuntoro dengan cepat ambil kedua benda yaitu kitab pusaka mustika halilintar dan batu bulan sangga buana .dan dengan cepat lesatkan badannya keudara tanpa memperdulikan teriakan dan caci maki dari lindu bergola.
Wiku dharma persada sesaat usap wajahnya
“begitulah ceritanya sanjaya, setelah aku kembli ketanah jawadwipa batu bulan sangga buana secara gaib raib dan hilang dari tanganku, dan entah bagaimana ceritanya batu bulan itu berada dimajapahit dan dimiliki seorang pembesar keraton, tapi mudah-mudahan dengan kau menyerahkan batu bulan yang sekarang sudah jadi sebilah pedang,  lindu bergola atau pertapa sapta raga bisa maklum dan berkenan mengangkatmu menjadi muridnya..”
Wejangan dan cerita wiku dharma persada pada sanjaya yang akan berangkat ketanah Hindustan itu masih terngiang ditelinga sanjaya yang kini telah berada ditanah Hindustan dalam rangka menyambangi pertapa sapta raga agar dirinya dapat diangkat menjadi murid dari sang pertapa untuk menandingi jurus kuntum kilat melecut raga level ketiga kepunyaan manggala si arit iblis.
(harap baca episode pertama: Rajah Kala Cakra, pen)

ooooOoooo

     Senja temaram melingkupi kawasan jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya, ketika sanjaya dan pemuda yang baru dikenalnya rajes menginjakan kaki disebuah tebing yang curam dimana sejauh mata memandang hanya hamparan bebatuan yang berlumut tebal, hembusan angin tampak megibarkan rambut gondrong dari sanjaya.
“tuan pendekar saya hanya bisa mengantar sampai disini..”
“rajes engapa dirimu seperti ketakutan..”
“tuan pendekar, seperti yang pernah saya katakana ditempat inilah pertamakali saya bersekutu dengan iblis dan mendapat kutukan , tuan pendekar saran saya urungkan saja niat anda..”
Seperti tak mengacuhkan ucapan rajes, pemuda gagah dengan parut melintang dipipi kirinya ini langkahkan kaki lebih dekat kebibir jurang, diambilnya sebongkah batu yang cukup besar lalu dilemparnya kebawah, lama pemuda ini menunggu namun suara yang diharapkannya tak kunjung terdengar, yang menandakan betapa dalamnya jurang yang menganga dihadapannya ini
Dengan hati-hati sanjaya melongok kan kepalanya dibibir jurang, sebersit hawa sedingin es langsung menyergapnya.
“rajes ceritakan padaku tentang iblis yang bersekutu dengan dirimu itu..”
“baiklah tuan pendekar, mungkin setelah mendengar kisah saya, tuan pendekar akan mengurungkan niat berurusan dengan mahluk ditempat ini….”

PRAJAPATI WILWATIKTA


     Hembusan angin timur dari lereng pegunungan arjuna begitu menyejukan, dari lamping bukit seorang pemuda berparas gagah terlihat berdiri dipinggir tebing yang menjorok kelembah dimana sebuah perdikan yang dikelilingi hutan pinus tampak meremang tersaput kabut senja hari, sesaat pemuda berbaju hitam ini betulkan letak buntalannya di punggung sebelah kiri, matanya terus mengawasi perdikan dikaki gunung arjuna itu.
“welangun, inikah perdikan dimana aku dilahirkan..”
Gumam pemuda berbaju hitam yang tak lain dari sungging prabangkara, setelah beberapa hari lalu dari kota raja majapahit dimana pemuda ini tanpa sengaja memperoleh anugrah dari prabu hajam wuruk yang merasa berkenan dengan lukisan putri  padjajaran dyah pitaloka yang dilukis sungging prabangkara.
“seperti apakah kondisi biungku sekarang..lebih baik aku segera keperdikan itu..”
Dengan sekali jejekan kakinya ketanah sosok sungging prabangkara dalam sekejap terlihat menuruni bukit dengan ringannya, pemuda ini tak menyadari sekelebatan bayangan dengan sebat mengikutinya dari belakang, ketika pemuda berbaju hitam ini mulai memasuki perbatasan perdikan sosok bayangan yang menguntitnya raib diatara rimbunnya pokok-pokok pinus yang melingkar mengelilingi perdikan welangun.
Sungging prabangkara tapak melangkah pelan memasuki gerbang perdikan welangun, dada pemuda gagah ini serasa sesak oleh perasaan rindu terhadap sosok seorang ibu yang selama belasan tahun hanya berada dalam bayangannya saja sesuai dengan yang diceritakan gurunya ketika masih berada dipuncak pegununga semeru.
Disebuah pinggir hutan kecil sungging prabangkara hentikan langkahnya, terpaut sepuluh tombak dihadapanya berdiri satu pondok panggung yang keseluruhanya terbuat dari rotan, di halaman depan terlihat seorang perempuan kurus paruh baya tengah membelah pokok-pokok pinus dengan sebilah golok, sungging tampak tercenung ditempatnya berdiri, kelopak matanya terasa panas dan ketika menarik napas dirasakannya buliran air bening meluncur dipipinya.
“inikah biungku..kasihan dalam umurnya yang mulai sepuh semuanya dikerjakan sendiri..”
Sungging prabangkara seakan terpaku ditempatnya berdiri, matanya terus mengawasi perempuan yang adalah biungnya sendiri itu dengan berbagai perasaan yang berkecamuk  sampai perempuan yang bernama welas ini menyadari ada seseorang yang berdiri mengawasinya, welas lantas berjalan menghampiri sungging prabangkara.


“anak muda, saya perhatikan dari tadi..sepertinya sedang bingung..”
“biung..apakah biung ini bernama welas..”
Ujar sungging prabangkara bergetar, ketika menyebut welas dengan panggilan biung
Welas sesaat perhatikan wajah anak muda dihadapanya dengan penuh tanda Tanya
“aku sungging prabangkara, anak biung..”
Welas yang masih tercekat tampak hampiri pemuda ini, dan tangisnya pecah manakala sungging prabangkara menyingkap baju hitamnya dibagian dada, disana tertera rajah yang selama belasan tahun dirindukannya “rajah kala cakra”.
“jadi kamu ini sungging prabangkara anak biung itu…”
ibu dan anak ini tampak berangkulan dengan eratnya, keduanya larut dalam tangis kebahagiaan beberapa saat kemudian ibu dan anak ini tampak berbincang diberanda rumah panggung.
“orang yang selalu memakai caping bamboo itu adalah resi mahesa jenar, bopo biung..”
“biung, jadi selama ini, aku digembleng oleh kakek ku sendiri..”
“begitulah sungging, tapi tahukan kamu bahwa dirimu masih memiliki saudara kembar..”
“kakek guru, telah menceritakan semuanya pada ku biung..tapi sayang saudara kembarku yang bernama sanjaya kini telah menjadi pendekar kejam angkara..”
“jadi saudaramu itu masih hidup dan bernama sanjaya..”
“benar biung, dan menurut kabar sekarang berada di partai halilintar sewu..”
“sudahlah sungging, kamu istirahat dulu..biung akan memasak makanan buat mu.”
Sungging prabangkara Cuma anggukan kepalanya, sambil duduk dilangkan rumah disapukan pandangan matanya pada lereng-lereng gunung arjuna yang mulai kelihatan dimana kabut perlahan pergi ditiup sang bayu, namun pemuda ini tercekat dari lamunannya dirasakanya sebuah sambaran angin yang begitu cepat melabrak dirinya.
“brruuuuaaaakkk..!!!”
Kursi rotan yang diduduki sungging prabangkara hancur berkeping-keping, sedang pemuda berbaju hitam ini dengan sigap lentingkan badannya keatas bersalto beberapa kali diudara dan ketika jejakan kakinya kembali ketanah, betapa terkejutnya pemuda ini begitu mengetahui siapa yang menyerangnya dengan mendadak.
“kisanak mangkurat, mengapa menyerangku…”
Teriakan sungging prabangkara tenggelam dalam gemuruh sambaran angin yang kembali dilancarkan oleh sosok yang menyerangnya dengan gencar, sosok yang tak lain dari mangkurat salah satu telik sandi majapahit ini kembali lancarkan tendangan berantai kearah sungging prabangkara.
“kisanak mangkurat..jelaskan dulu..mengapa kau menyerangku..”
“buat apa..sudah jelas semuanya kau yang membunuh resi palwa dan merampas pedang sangga buana itu..”
Sungging prabangkara tercekat, namun pemuda ini segera memaklumi apa yang sedang terjadi
“kisanak mangkurat kau salah paham..degarkan dulu  penjelasannku..”
“bukan kah kau sanjaya, yang menyamar menjadi diriku..kini kau memakai nama sungging prabangkara..setelah itu apa lagi..kembalikan pedang sangga buana pada ku..”
“kau salah paham kisanak mangkurat..dengarkan dulu penjelasanku…”
Kegaduhan diluar rumah memaksa welas ibu dari sungging prabangkara keluar dari rumahnya dan betapa terkejutnya perempuan ini , menyaksikan anaknya sedang diserang oleh seorang pemuda dengan rambut digelung keatas.
“hentikan..mengapa kau menyerang sungging anakku..”
Teriak perempuan paruh baya ini sambil berdiri ketakutan ditengah pintu
“bibi..anakmu ini seorang pembunuh..dan pencuri..”
Teriak mangkurat yang terus mencecar sungging prabangkara dengan jurus-jurus mautnya
“biung..kisanak ini salah paham padaku..mungkin yang dimaksudnya adalah sanjaya kembaran diriku…”
Mendengar teriakan sungging prabangkara, mangkurat hentikan serangannya
“kembaran..maksudnya, kau mempunyai saudara kembar..”
Ujar mangkurat, sambil tarik pulang jurus totokan yang akan diarahkan kepangkal leher sungging prabangkara.
“benar kisanak apa yang dikatakan sungging..bibi memiliki anak kembar , dengan rajah kala cakra didada masing-masing..”
Mangkurat  tampak menarik napas sesaat, tak lama dijabatnya erat tangan sungging prabangkara
“andika sungging, maapkan diriku.. sebelum tewas mpu palwa Cuma member tahu cirri dari pembunuhnya bernama sanjaya yang memiliki rajah kala cakra didadanya..”
Sungging prabangkar Cuma tersenyum, tak lama ketiganya tampak duduk diteras rumah welas yang kini tampak porak-poranda.
“sekali lagi saya minta maap..sungging dan bibi..”
“tidak apa-apa kisanak mangkurat”
“jadi sanjaya itu sekarang berada di partai halilintar sewu..”

“menurut kabar, keberadaan partai halilintar sewu sangat misterius dan tak seorang pun dari kalangan pendekar dan pihak kedaton majapahit yang mengetahuinya, namun sepak terjangnya sudah sedemikian meresahkan..”
Ujar welas ambil bersandar dilangkan rumahnya yang tinggal separoh akibat kena tendangan mangkurat.
“baiklah andika sungging dan bibi, saya pamit mudah-mudahan kita bertemu kembali dalam keadaan yang baik..”
“silahkan kisanak palwa..”
Telik sandi majapahit ini rangkapkan kedua telapak tangannya didada sebelum sosoknya melesat bak alap-alap dan detik berikutnya bayangannya hilang diantara rimbunnya pepohonan pinus diatas tebing.

ooooOoooo

     Taman sari kedaton pakuwan padjajaran meremang dalam lembayung petang disenja hari nan sejuk, semilir angin timur dari lereng pegunungan salak merambah rumpun-rumpun bunga rumput yang bertebaran mengelilingi telaga berair biru, dyah pitaloka putri kedaton padjajaran tampak sarungkan pedang giok hijau dalam warangkanya, dara ayu ini baru saja selesai melatih olah kanuragannya disaat yang sama satu sosok telah berdiri dihadapannya.
“ayahanda prabu..gerangan apa sesore ini berkenan ke taman sari..”
Sosok yang ternyata raja agung pasundan prabu lingga buana  sesaat tatap paras wajah putrinya
“putri ku, pitaloka dirimu telah beranjak dewasa kelak kedaton pakuwan padjajaran akan terwaris kepadamu, namun sebagai seorang wanita kau punya keterbatasan..”
Prabu lingga buana hentikan sejenak ucapannya, menanti reaksi dari sang putri dyah pitaloka
“maap ayahanda prabu, ananda belum memahami maksud dari ayahanda..”
“utusan dari majapahit barusan datang menyampaikan pinangannya atas dirimu untuk dipersunting sebagai permaisuri dari prabu hajam wuruk raja sanegara, bagaimana menurut pendapatmu pitaloka..”
Dyah ayu pitaloka masih tertunduk diam, hatinya gundah disisi lain dirinya masih memendam rasa dan asa pada sungging prabangkara, sosok pemuda yang dicintainya walau mereka dipertemukan dalam mimpi, sementara sebagai anak yang berbakti sulit rasanya untuk menolak kehendak ayahnya, yang notabennya sebagai seorang prabu raja sunda yang diagungkan kawula dan rakyatnya.
“putri ku, dyah pitaloka, dirimu sudah dewasa tentu sudah punya pandangan kedepan akan masa depanmu, ayahanda tidak akan memaksakan kehendak semua tergantung keputusan dirimu..”
Ujar prabu lingga buana arif,  raja sunda ini maklum diumur putrinya yang ke tujuh belas tahun itu, tentunya sudah memiliki pandangan dan pilihannya sendiri terhadap lawan jenisnya.
“ayahanda prabu, hamba serahkan semua keputusan pada ayahanda..”
“jadi ananda pitaloka, menerima pinangan itu..”
Dara ayu putri padjajaran ini Cuma mengangguk, kemudian rangkapkan kedua tangannya didepan dada sebelum akhirnya sosoknya raib dibalik tembok taman sari.
Setelah kepergian dyah pitaloka, prabu lingga buana beranjak menemui adiknya yang sekaligus mangkubumi kerajaan padjajaran, sang bunisora suradipati.
“adikku mangkubumi, bagaimana menurut pendapatmu tentang lamaran prabu hajam wuruk itu..”
Sang bunisora suradipati sesaat rangkapkan kedua tangannya didada sebelum menjawab pertanyan prabu lingga buana
“maap kakang prabu, kenapa musti dimajapahit pernikahan itu dilangsungkan, sebagai adat orang timur tabu rasanya seorang wanita mendatangi pihak pria..”
“betul apa yang kau katakana mangkubumi, tapi kita tahu majapahit adalah kerajaan besar dan agung dimasa sekarang ini, jadi wajar kalau kita menghormatinya..lagipula pendiri majapahit terdahulu dyah sanggrama wijaya masih keturunan orang pasundan, jadi pernikahan ini sekaligus sebagai sarana mempererat silaturahmi antar keturunan orang sunda..”
“tapi kakang prabu, saya tetap was-was apalagi patih mereka gajah mada tengah gencar-gencarnya memperluas wilayah majapahit dengan sumpah palapanya itu..”
“niat baik prabu hajam wuruk sudah jelas adikku..”
Sang mangkubumi bunisora hanya mengangguk, namun bhatinnya tetap merasa tidak enak, mangku bumi muda ini merasakan sesuatu hal yang buruk akan terjadi, tapi apa…
Dan pada hari yang ditentukan berangkatlah rombongan dari kedaton padjajaran ini melalui jalur laut menuju ke majapahit.

ooooOoooo

     Pada episode, Petaka Pedang Sangga Buana dikisahkan sanjaya murid sekaligus anak dari pemimpin partai lintas aliran Halilintar sewu atas perintah wiku Dharma persada memerintahkan sanjaya untuk mengambil pedang sangga buana yang tengah dibuat oleh mpu palwa sebagai sarana agar sanjaya dapat menuntut ilmu pada pertapa sapta raga dinegri hindustan supaya dapat menandingi jurus kuntum kilat melecut raga tingkat tiga yang sekarang dikuasai oleh manggala si arit iblis musuh bebuyutannya yang telah mencuri kitab pusaka milik partai halilintar sewu (untuk lebih jelas, baca episode: rajahkala cakra dan petaka pedang sanggabuana, pen).
Kedai makanan dipinggir sungai gangga sebelah hilir ini begitu ramai, apalagi disaat itu sedang ada upacara perayaan hari besar, ditambah makanan dan minuman yang dijual dengan harga terjangkau dikalangan rakyat dan juga pelayan-pelayan muda yang memakai kain sari gemerlapan menambah suasana semakin semarak, maka tak heran kedai makanan milik tuan govinda ini menjadi buah bibir masyarakat Hindustan kala itu.
Dipojok warung seorang pemuda tengah asik menyantap makanannya, agaknya pemuda ini tak memperdulikan hiruk-pikuk disekitarnya sesekali sudut matanya mengawasi seorang tua gemuk yang tengah berbincang dengan beberapa tamu, dialah tuan govinda pemilik kedai makan itu, sesekali tangan pemuda yang tengah makan itu memasukan sesuatu kedalam kain hitam yang ada dipinggangnya, detik berikutnya dengan berjingkat berusaha mencapai pintu kedai.
“brrruuuaaakkk…!!!”
Semua mata tertuju kesatu tempat, disana seorang pemuda kurus tampak terpana kain hitam yang ada dipinggangnya melorot jatuh  dan dari dalam kain hitam itu muncul berbagai makanan, berupa buah dan roti.
“dia lagi..pengawal tangkap pencuri itu…”
sungut tuan govinda, disusul beberapa orang lelaki kekar berhamburan mengurungnya
“ampuni saya tuan..ampun..”
“pencuri tengik, ketangkap basah minta ampun..seret dia keluar dan beri pelajaran..” semprot tuan govinda berang
“tungguuu..lepaskan dia..”
Sebuah suara bergema menggetarkan dinding-dinding kedai, seorang pemuda gagah berambut gondrong dengan parut melintang dipipi kiri serta sebilah pedang dipunggung kini telah berdiri diantara para pengawal kedai dan lelaki kurus yang tadi berusaha mencuri roti dan buah-buahan.
“siapa kau anak muda..” semprot tuan govinda
“berapa harga semua makanan yang diambil kisanak ini..”
“lima rupee…apa kau temannya pencuri ini anak muda..”
Pemuda gagah ini lantas keruk saku bajunya, dikletakkannya beberapa keeping diatas meja
“apa ini cukup tuan..”
“lebih..lebih dari cukup..anak muda..silahkan mampir di kedai kami..”
Pemuda gagah ini Cuma diam, tak lama tinggalkan kedai pinggir sungai gangga dengan cepat, namun setelah berjalan beberapa lie sosoknya tampak melayang diudara detik berikutnya telah berada dibelakang satu sosok yang mengendap-endap diantara tebing.
“kenapa kau mengikuti aku…”
Sosok pemuda kurus ini tersentak manakala orang yang dikuntitnya tiba-tiba sudah berada dibelakangnya
“maap tuan pendekar..maap..”
“siapa kamu..”
“saya siraj, terimakasih tadi sudah menyelamatkan saya dari para pengawal kedai..”
“kenapa kamu mencuri..”
“mari mampir dulu kegubuk saya..tuan pendekar..”
Pemuda gagah dengan parut melintang dipipi kirinya ini lantas ikuti lelaki ceking yang mengaku bernama siraj ini.
Gubuk yang dikatakan siraj ini tak lain dari sebuah cegukan gua yang cukup besar berada dibawah sebuah tebing yang menjulang, semakin kedalam memasuki gua semakin hawa dingin menyergap sum-sum tulang dan ketika sampai disebuah ruangan gua yang cukup besar pandangan pemuda gagah ini terhenyak, didepan sana beberapa puluh tubuh munggil tergeletak hanya beralaskan selembar kain lusuh disampingnya anak-anak bau kencur berusaha menenangkan rengekan dan tangisan dari orok-orok ini.
“siapa mereka siraj..”
“mereka adalah anak-anak yang tak diharapkan lahir didunia oleh orang tuanya, dibuang begitu saja bak sampah..dan hanya makanan dari hasil mencuri yang mereka makan sehari-hari..”
“kau melakukannya seorang diri..”
“benar, saya lakukan semua ini demi terbebas dari kutukan..”
“kutukan..maksudmu..”
“dulu saya adalah seorang pemuja iblis, puluhan nyawa orok tak berdosa menjadi tumbal, hingga satu ketika saya melanggar pantangan dan untuk terbebas dari kutukan ini saya harus mengasuh orok-orok dan anak terlantar ini sampai kutukan itu lepas, tapi Cuma mencuri keahlian saya dalam memberi  mereka makanan..”
“baiklah siraj, cukup..aku ingin menanyakan sesuatu pada mu..”
“apa itu tuan pendekar..”
“kau mengetahui sebuah tempat bernama jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya..”
Pemuda ceking ini tampak tersentak, bayangan ketakutan tergambar jelas diwajahnya
“kenapa siraj..”
“ditempat itulah pertama kali saya menjadi pemuja iblis..”
“bisa kau antar aku kesana..”
“untuk apa tuan pendekar, ada keperluan apa..”
“kau tidak usah tahu..antarkan saja aku kesana..”
“ba..baik..baiklah ..tuan pendekar..”

ooooOoooo

selesai

Salam Bhumi Deres Mili