Bulir-bulir
salju perlahan menitik dari angkasa menerpa kepala dua sosok tubuh yang
tampak duduk bersila diatas sebuah tebing batu yang curam, tak menunggu
lama gundukan salju terlihat menyelimuti sekujur tubuh keduanya hingga
sebatas leher, namun kedua pemuda berambut gondrong ini seakan tak
memperdulikan dinginnya salju dan terpaan angin yang seakan membeset
permukaan kulit bak sembilu itu, kedua sosok ini tetap tak bergeming
seolah gundukan batu karang yang kokoh.
Tak
lama dari empat penjuru mata angin menderu dengan dahsyat
kilatan-kilatan berwarna keperakan mengurung kedua sosok ini dengan
cepat, saking cepatnya kilatan-kilatan berwarna keperakan ini tampak
berpendar kesegala arah
“Dhhhhuuuaaaarrrr…!!”
Dentuman
keras menggelegar mengguncang tempat dimana kedua sosok ini masih duduk
bersila dengan gundukan salju yang membenamkan keduanya hingga leher,
titik-titik salju semakin rapat turun dari langit, detik berikutnya
kawasan itu dilanda badai salju yang ganas hingga radius seratus meter.
Tiga bulan kemudian
Sosok kerempeng dengan selempang kain putih tampak melangkah dengan
tenang diantara bulir-bulir salju yang menitik dari angkasa, gundukan
salju yang berada didepannya seakan bagai gumpalan kapuk yang lunak
diterjangnya dengan mudah, tiga langkah dihadapan sebuah gundukan salju
yang besar sosok kerempeng dengan selempang kain putih ini hentikan
langkahnya.
“keluarlah, masa pertapaan kalian telah usai..”
Walau
pelan ucapan yang keluar dari bibir orang tua berselempang kain putih
ini namun mampu menggetarkan gundukan bongkahan salju dihadapanya hingga
luruh kebawah, dan dari dalam gundukan salju terlihat dua sosok tubuh
dalam posisi bersila.
“sifu zen..”
Ucap kedua pemuda ini bersamaan, sambil rangkapkan kedua tangan masing-masing didepan dada
Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil sifu zein ini Cuma tersenyum simpul
“murid-murid ku.. perlihatkan padaku hasil dari latihan kalian..windu kuntoro kau duluan..”
“baik sifu zen..”
Pemuda
gagah bernama windu kuntoro ini lantas rangkapkan kedua tanganya
didepan dada detik berikutnya sosoknya tampak melesat keatas jungkir
balik beberapa kali diudara dan begitu kebut telapak tangan kanannya
kedepan seberkas sinar putih kebiruan melesat dari telapak tanganya dan
dengan dahsyat menerpa sebatang pohon pinus hingga menjadi bubuk
berwarna biru.
“jurus
kuntum kilat melecut ragamu nyaris sempurna, windu kuntoro kau harus
banyak berlatih hingga tingkat ketiga bisa kau kuasai..”
“baik sifu..”
“nah sekarang giliran mu lindu bergola..”
Pemuda
dengan perawakan jangkung ini rangkapkan kedua tangannya didada dan
dalam satu kelebatan sosoknya tampak menjadi tujuh bayangan yang
berbeda.
“lindu bergola, jurus tujuh bayanganmu sudah sempurna..murid-muridku kemarilah ada sesuatu yang musti kalian ketahui..”
Kedua pemuda ini lantas duduk bersila diatas salju dihadapan gurunya
Sifu zen lantas memasukan tangannya dibalik kain putih, dua buah benda tampak berada dalam kedua tangannya
“kitab
pusaka mustika halilintar ini baru akan aku berikan begitu jurus kuntum
kilat melecut raga level pertama bisa kau sempurnakan windu kuntoro,
dan batu bintang sangga buana ini bisa dijadikan pedang mustika paling
hebat bila jurus tujuh bayangan lindu bergola telah mencapai level
ketujuh..sekarang kalian boleh beristirahat..”
“baik sifu..”
Ujar
windu kuntoro dan lindu bergola bersamaan, namun begitu orang tua
berselempang kain putih ini balikan badan, tak disangka secara bersamaan
kedua pemuda ini lancarkan serangan mematikan dan telak mengenai
anggota badan yang sangat vital dari sifu zen, tubuh orang tua ini
seketika ambruk diatas salju genangan merah terlihat menetes dari
sela-sela bibir orang tua ini menetes diatas hamparan putihnya salju,
yang seketika menjadi merah.
“durjana apa..apa..yang..kalian lakuka..kan..”
Ujar orang tua berselempang kain putih ini terbata-bata
Tapi
tanpa belas kasihan kedua pemuda ini kembali menyerang secara serentak,
hingga detik berikutnya sifu zen terkapar diatas salju, nyawanya putus
sudah dengan meninggalkan tanda Tanya dalam hatinya, mengapa kedua
muridnya begitu tega menghabisi dirinya.
Sementara
itu, setelah membunuh sang guru windu kuntoro dengan cepat ambil kedua
benda yaitu kitab pusaka mustika halilintar dan batu bulan sangga buana
.dan dengan cepat lesatkan badannya keudara tanpa memperdulikan teriakan
dan caci maki dari lindu bergola.
Wiku dharma persada sesaat usap wajahnya
“begitulah
ceritanya sanjaya, setelah aku kembli ketanah jawadwipa batu bulan
sangga buana secara gaib raib dan hilang dari tanganku, dan entah
bagaimana ceritanya batu bulan itu berada dimajapahit dan dimiliki
seorang pembesar keraton, tapi mudah-mudahan dengan kau menyerahkan batu
bulan yang sekarang sudah jadi sebilah pedang, lindu bergola atau
pertapa sapta raga bisa maklum dan berkenan mengangkatmu menjadi
muridnya..”
Wejangan
dan cerita wiku dharma persada pada sanjaya yang akan berangkat ketanah
Hindustan itu masih terngiang ditelinga sanjaya yang kini telah berada
ditanah Hindustan dalam rangka menyambangi pertapa sapta raga agar
dirinya dapat diangkat menjadi murid dari sang pertapa untuk menandingi
jurus kuntum kilat melecut raga level ketiga kepunyaan manggala si arit
iblis.
(harap baca episode pertama: Rajah Kala Cakra, pen)
ooooOoooo
Senja temaram melingkupi kawasan jurang tanpa dasar semenanjung
Himalaya, ketika sanjaya dan pemuda yang baru dikenalnya rajes
menginjakan kaki disebuah tebing yang curam dimana sejauh mata memandang
hanya hamparan bebatuan yang berlumut tebal, hembusan angin tampak
megibarkan rambut gondrong dari sanjaya.
“tuan pendekar saya hanya bisa mengantar sampai disini..”
“rajes engapa dirimu seperti ketakutan..”
“tuan
pendekar, seperti yang pernah saya katakana ditempat inilah pertamakali
saya bersekutu dengan iblis dan mendapat kutukan , tuan pendekar saran
saya urungkan saja niat anda..”
Seperti
tak mengacuhkan ucapan rajes, pemuda gagah dengan parut melintang
dipipi kirinya ini langkahkan kaki lebih dekat kebibir jurang,
diambilnya sebongkah batu yang cukup besar lalu dilemparnya kebawah,
lama pemuda ini menunggu namun suara yang diharapkannya tak kunjung
terdengar, yang menandakan betapa dalamnya jurang yang menganga
dihadapannya ini
Dengan hati-hati sanjaya melongok kan kepalanya dibibir jurang, sebersit hawa sedingin es langsung menyergapnya.
“rajes ceritakan padaku tentang iblis yang bersekutu dengan dirimu itu..”
“baiklah
tuan pendekar, mungkin setelah mendengar kisah saya, tuan pendekar akan
mengurungkan niat berurusan dengan mahluk ditempat ini….”
Dini hari yang senyap, dimana sebagian penduduk kampung disebelah hilir
sungai gangga masih terlelap dialam mimpi, mendadak dikejutkan oleh
sebuah teriakan seorang perempuan dari dalam rumah panggung, disusul
sekelebatan bayangan hitam dengan cepat melesat menembus wuwungan dengan
mendukung sebuah keranjang yang diapit di lengan kirinya, begitu
cepatnya bayangan hitam ini bergerak dilain kejap sosoknya telah raib
ditelan gemuruh samar dari langit disusul gelegar halilintar, tak lama
hujan deras mengguyur perkampungan sebelah hilir sungai gangga dengan
derasnya.
Tak
lama puluhan orang telah berkerumun didepan rumah panggung dimana
seorang perempuan muda dipapah oleh suaminya dan seorang nenek keriput
tampak menggigil ketakutan.
“ada apa surad..kenapa dengan devis istrimu…”
“sesosok bayangan hitam telah menculik orok yang baru dilahirkan devis..paman..”
“kemana larinya penculik itu..”
“kearah selatan..”
“baiklah..ayo saudara-saudara kita kejar penculik itu..”
Puluhan
orang dengan membawa berbagai senjata tajam tampak melesat kearah
selatan ditengah guyuran hujan yang semakin lebat, tak menunggu lama
sosok bayangan hitam yang mengapit keranjang dilengan kirinya itu
terlihat diantara lereng-lereng terjal yang ada dihadapannya
“berhenti penculik…”
Sosok bayangan hitam ini terpana, dia tak mengira para penduduk bisa menyusulnya
“mau kau apakan orok yang baru lahir itu..cepat serahkan pada kami..”
Sosok
hitam ini hanya diam, matanya liar mengawasi puluhan penduduk yang
mengepungnya, sementara hujan badai semakin mengganas mengguyur kawasan
bukit terjal berbatu itu, tapi dengan satu hentakan kaki sosok bayangan
hitam ini tampak melesat keatas tebing bukit
“kejar…!!”
“tunggu paman dared..”
“ada apa…”
“paman perhatikan, kita telah memasuki kawasan terlarang , jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya..”
“ah..kau benar sukrij, terpaksa kita kembali..kasihan surad..tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa..mari kita kembali …”
Begitu
puluhan penduduk meninggalkan tempat yang dianggap sacral itu raib
dibalik dinding bukit sebelah barat, dari sebuah celah batu sesosok
bayangan dengan mengapit keranjang besar di lengan kirinya tampak
tertatih mendaki bukit terjal ditengah guyuran hujan dihadapannya,
sekitar sepenanakan nasi sosok ini sampai disebuah tebing terjal dimana
dihadapannya menganga sebuah bibir jurang yang lebar, sosok ini lantas
singkap kain ungu yang menutupinya, tampak disana tergolek sesosok orok
laki-laki yang masih merah dengan ari-ari yang masih basah dengan
genangan darah.
“penguasa jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya..terimalah persembahan ini…”
Gelegar
halilintar terdengar memekakan telinga, disusul seberkas sinar hitam
mencuat dari dalam jurang, tak lama satu sosok perempuan berparas jelita
kini berada tiga langkah dihadapan sosok lelaki dengan keranjang berisi
orok didalamnya.
“bagus..rajes,
kau memang budak setia ku..kelak pedang sangga buana akan jadi
milikmu, dan kau akan menguasai dunia kongkow tanah Hindustan ini..”
“baik master..sekarang terimalah persembahan ini..”
Rajes
lantas angsurkan keranjang berisi orok kedepan wanita jelita yang
dengan sekali jentikan jari orok yang berada didalam keranjang terangkat
dan melayang kearah wanita ini dan dengan sigap mendukungnya ditangan
sebelah kirinya.
“nah, rajes..tinggal satu orok lelaki lagi, maka pedang sangga buana akan menjadi milik mu..”
“maap master..apa saya bisa melihat pedang itu sekali lagi..”
“apa kau meragukan aku rajes..”
“maap master..bukan maksud…”
“ingat
rajes..pantanganmu, jangan sampai darah dari seorang perempuan
mengenai dirimu..bila itu kau langgar..kau tanggung sendiri akibatnya..”
“saya paham master..”
“sekarang pergilah ke goa level enam..berendamlah dengan embun merah semenanjung Himalaya..”
Selesai
berucap sosok wanita jelita ini lesatkan dirinya kejurang yang menganga
dihadapannya dengan mendukung orok yang ada didekapannya.
Sesaat rajes tarik dalam-dalam napasnya, sedang sanjaya tampak serius dihadapannya
“begitulah ceritanya tuan pendekar..” ujar rajes
“lantas kenapa kutuk menimpa dirimu..rajes, apa pantangan itu kau langgar..”
“tepat
tuan pendekar, tak sengaja ketika saya menculik orok yang ke empat
puluh, para penduduk berhasil mengepung dan karena panic saya serang
para penduduk membabi buta, tak dinyana diantara penduduk yang saya
bunuh terdapat seorang perempuan dan darahnya langsung memercik ketubuh
saya..”
(mengenai kutuk yang menimpa rajes, harap baca episode: praja pati wilwatikta, pen)
“baiklah rajes, terimakasih atas ceritamu..sekarang pulanglah..”
Rajes
hanya mengangguk pelan, pemuda ceking ini lantas balikan badan siap
meninggalkan kawasan jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya, namun
belum sampai dua langkah dirasakannya punggung kirinya terasa dingin,
dan begitu meraba dadaanya sepercik darah muncrat dengan ujung pedang
menyembul didadanya…
“rajes
manusia bodoh..matipun dalam keadaan bodoh..mau saja kau ditipu mahluk
iblis, asal kau tahu pedang yang sekarang menghujam jantungmu ini
adalah pedang sangga buana, dan seharusnya kau berterimakasih padaku karena kutukanmu aku akhiri sampai disini..”
Tubuh
pemuda ceking ini ambruk dengan bilah pedang sangga buana menancap
dipunggung tembus ke dada sebelah kirinya, matanya hanya mampu melotot
tanpa bisa bersuara, detik berikutnya nyawanya pupus sudah.
Dengan
tanpa perasaan sanjaya tending punggung pemuda malang ini, yang dengan
sekejap tubuhnya terlempar dengan bibir jurang tanpa dasar siap
menyambutnya.
Sanjaya
seka darah yang menempel dibadan pedang, matanya masih sempat melihat
tubuh rajes yang melayang menembus kabut yang menaungi pertegahan jurang
kemudian pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini dengan sebat
meloncat kebibir jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya.
ooooOoooo
pada episode. Praja pati wilwatikta dikisahkan rombongan dari kerajaan pakuan padjajaran
dimana
sang prabu agung tatar pasundan prabu lingga buana dan putrinya dyah
citra resmi pitaloka dengan menggunakan beberapa perahu layar bertolak
ke kota raja majapahit untuk melangsungkan pernikahan atas pinangan
prabu hajam wuruk terhadap putri padjajaran ini, disebuah bilik kapal
dyah pitaloka tampak memandang derasnya sungai dihadapannya.
“gusti ayu pitaloka, ada apa memanggil hamba..”
“mban dalem, sebentar lagi kita sampai dipelabuhan tuban, apa sampan yang saya pesan saudah kau persiapkan..”
“hamba gusti putri..”
“mban dalem..saya serahkan pedang mustika giok hijau ini pada dirimu, kelak saya akan mencarimu untuk mengambil nya kembali..”
“baik gusti putri…”
Dyah
pitaloka lantas berjalan kearah buritan perahu layar dan dengan sekali
kelebatan tubuhnya telah berada di dalam sampan kecil yang membawanya
meluncur mendahului rombongan kerajaan, menuju majapahit.
Selesai
Selanjutnya: tragedy patrem saka domas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar