Rabu, 21 Desember 2011

EMBUN MERAH SEMENANJUNG HIMALAYA

     Bulir-bulir salju perlahan menitik dari angkasa menerpa kepala dua sosok tubuh yang tampak duduk bersila diatas sebuah tebing batu yang curam, tak menunggu lama gundukan salju terlihat menyelimuti sekujur tubuh keduanya hingga sebatas leher, namun kedua pemuda berambut gondrong ini seakan tak memperdulikan dinginnya salju dan terpaan angin yang seakan membeset permukaan kulit bak sembilu itu, kedua sosok ini tetap tak bergeming seolah gundukan batu karang yang kokoh.
Tak lama dari empat penjuru mata angin menderu dengan dahsyat kilatan-kilatan berwarna keperakan mengurung kedua sosok ini dengan cepat, saking cepatnya kilatan-kilatan berwarna keperakan ini tampak berpendar kesegala arah
“Dhhhhuuuaaaarrrr…!!”
Dentuman keras menggelegar mengguncang tempat dimana kedua sosok ini masih duduk bersila dengan gundukan salju yang membenamkan keduanya hingga leher, titik-titik salju semakin rapat turun dari langit, detik berikutnya kawasan itu dilanda badai salju yang ganas hingga radius seratus meter.

Tiga bulan kemudian

     Sosok kerempeng dengan selempang kain putih tampak melangkah dengan tenang diantara bulir-bulir salju yang menitik dari angkasa, gundukan salju yang berada didepannya seakan bagai gumpalan kapuk yang lunak diterjangnya dengan mudah, tiga langkah dihadapan sebuah gundukan salju yang besar sosok kerempeng dengan selempang kain putih ini hentikan langkahnya.
“keluarlah, masa pertapaan kalian telah usai..”
Walau pelan ucapan yang keluar dari bibir orang tua berselempang kain putih ini namun mampu menggetarkan gundukan bongkahan salju dihadapanya hingga luruh kebawah, dan dari dalam gundukan salju terlihat dua sosok tubuh  dalam posisi bersila.
“sifu zen..”
Ucap kedua pemuda ini bersamaan, sambil rangkapkan kedua tangan masing-masing didepan dada
Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil sifu zein ini Cuma tersenyum simpul
“murid-murid ku.. perlihatkan padaku hasil dari latihan kalian..windu kuntoro kau duluan..”
“baik sifu zen..”
Pemuda gagah bernama windu kuntoro ini lantas rangkapkan kedua tanganya didepan dada detik berikutnya sosoknya tampak melesat keatas jungkir balik beberapa kali diudara dan begitu kebut telapak tangan kanannya kedepan seberkas sinar putih kebiruan melesat dari telapak tanganya dan dengan dahsyat menerpa sebatang pohon pinus hingga menjadi bubuk berwarna biru.
“jurus kuntum kilat melecut ragamu nyaris sempurna, windu kuntoro kau harus banyak berlatih hingga tingkat ketiga bisa kau kuasai..”
“baik sifu..”
“nah sekarang giliran mu lindu bergola..”
Pemuda dengan perawakan jangkung ini rangkapkan kedua tangannya didada dan dalam satu kelebatan sosoknya tampak menjadi tujuh bayangan yang berbeda.
“lindu bergola, jurus tujuh bayanganmu sudah sempurna..murid-muridku kemarilah ada sesuatu yang musti kalian ketahui..”
Kedua pemuda ini lantas duduk bersila diatas salju dihadapan gurunya
Sifu zen lantas memasukan tangannya dibalik kain putih, dua buah benda tampak berada dalam kedua tangannya
“kitab pusaka mustika halilintar ini baru akan aku berikan begitu jurus kuntum kilat melecut raga level pertama bisa kau sempurnakan windu kuntoro, dan batu bintang sangga buana ini bisa dijadikan pedang mustika paling hebat bila jurus tujuh bayangan lindu bergola telah mencapai level ketujuh..sekarang kalian boleh beristirahat..”
“baik sifu..”
Ujar windu kuntoro dan lindu bergola bersamaan, namun begitu orang tua berselempang kain putih ini balikan badan, tak disangka secara bersamaan kedua pemuda ini lancarkan serangan mematikan dan telak mengenai anggota badan yang sangat vital dari sifu zen,  tubuh orang tua ini seketika ambruk diatas salju genangan merah terlihat menetes dari sela-sela bibir orang tua ini menetes diatas hamparan putihnya salju, yang seketika menjadi merah.
“durjana apa..apa..yang..kalian lakuka..kan..”
Ujar orang tua berselempang kain putih ini terbata-bata
Tapi tanpa belas kasihan kedua pemuda ini kembali menyerang secara serentak, hingga detik berikutnya sifu zen terkapar diatas salju, nyawanya putus sudah dengan meninggalkan tanda Tanya dalam hatinya, mengapa kedua muridnya begitu tega menghabisi dirinya.
Sementara itu, setelah membunuh sang guru windu kuntoro dengan cepat ambil kedua benda yaitu kitab pusaka mustika halilintar dan batu bulan sangga buana .dan dengan cepat lesatkan badannya keudara tanpa memperdulikan teriakan dan caci maki dari lindu bergola.
Wiku dharma persada sesaat usap wajahnya
“begitulah ceritanya sanjaya, setelah aku kembli ketanah jawadwipa batu bulan sangga buana secara gaib raib dan hilang dari tanganku, dan entah bagaimana ceritanya batu bulan itu berada dimajapahit dan dimiliki seorang pembesar keraton, tapi mudah-mudahan dengan kau menyerahkan batu bulan yang sekarang sudah jadi sebilah pedang,  lindu bergola atau pertapa sapta raga bisa maklum dan berkenan mengangkatmu menjadi muridnya..”
Wejangan dan cerita wiku dharma persada pada sanjaya yang akan berangkat ketanah Hindustan itu masih terngiang ditelinga sanjaya yang kini telah berada ditanah Hindustan dalam rangka menyambangi pertapa sapta raga agar dirinya dapat diangkat menjadi murid dari sang pertapa untuk menandingi jurus kuntum kilat melecut raga level ketiga kepunyaan manggala si arit iblis.
(harap baca episode pertama: Rajah Kala Cakra, pen)

ooooOoooo

     Senja temaram melingkupi kawasan jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya, ketika sanjaya dan pemuda yang baru dikenalnya rajes menginjakan kaki disebuah tebing yang curam dimana sejauh mata memandang hanya hamparan bebatuan yang berlumut tebal, hembusan angin tampak megibarkan rambut gondrong dari sanjaya.
“tuan pendekar saya hanya bisa mengantar sampai disini..”
“rajes engapa dirimu seperti ketakutan..”
“tuan pendekar, seperti yang pernah saya katakana ditempat inilah pertamakali saya bersekutu dengan iblis dan mendapat kutukan , tuan pendekar saran saya urungkan saja niat anda..”
Seperti tak mengacuhkan ucapan rajes, pemuda gagah dengan parut melintang dipipi kirinya ini langkahkan kaki lebih dekat kebibir jurang, diambilnya sebongkah batu yang cukup besar lalu dilemparnya kebawah, lama pemuda ini menunggu namun suara yang diharapkannya tak kunjung terdengar, yang menandakan betapa dalamnya jurang yang menganga dihadapannya ini
Dengan hati-hati sanjaya melongok kan kepalanya dibibir jurang, sebersit hawa sedingin es langsung menyergapnya.
“rajes ceritakan padaku tentang iblis yang bersekutu dengan dirimu itu..”
“baiklah tuan pendekar, mungkin setelah mendengar kisah saya, tuan pendekar akan mengurungkan niat berurusan dengan mahluk ditempat ini….”


     Dini hari yang senyap, dimana sebagian penduduk kampung disebelah hilir sungai gangga masih terlelap dialam mimpi, mendadak dikejutkan oleh sebuah teriakan seorang perempuan dari dalam rumah panggung, disusul sekelebatan bayangan hitam dengan cepat melesat menembus wuwungan dengan mendukung sebuah keranjang yang diapit di lengan kirinya, begitu cepatnya bayangan hitam ini bergerak dilain kejap sosoknya telah raib ditelan gemuruh samar dari langit disusul gelegar halilintar, tak lama hujan deras mengguyur perkampungan sebelah hilir sungai gangga dengan derasnya.
Tak lama puluhan orang telah berkerumun didepan rumah panggung dimana seorang perempuan muda dipapah oleh suaminya dan seorang nenek keriput tampak  menggigil ketakutan.
“ada apa surad..kenapa dengan devis istrimu…”
“sesosok bayangan hitam telah menculik orok yang baru dilahirkan devis..paman..”
“kemana larinya penculik itu..”
“kearah selatan..”
“baiklah..ayo saudara-saudara kita kejar penculik itu..”
Puluhan orang dengan membawa berbagai senjata tajam tampak melesat kearah selatan ditengah guyuran hujan yang semakin lebat, tak menunggu lama sosok bayangan hitam yang mengapit keranjang dilengan kirinya itu terlihat diantara lereng-lereng terjal yang ada dihadapannya
“berhenti penculik…”
Sosok bayangan hitam ini terpana, dia tak mengira para penduduk bisa menyusulnya
“mau kau apakan orok yang baru lahir itu..cepat serahkan pada kami..”
Sosok hitam ini hanya diam, matanya liar mengawasi puluhan penduduk yang mengepungnya, sementara hujan badai semakin mengganas mengguyur kawasan bukit terjal berbatu itu, tapi dengan satu  hentakan kaki sosok bayangan hitam ini tampak melesat keatas tebing bukit
“kejar…!!”
“tunggu paman dared..”
“ada apa…”
“paman perhatikan, kita telah memasuki kawasan terlarang , jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya..”
“ah..kau benar sukrij, terpaksa kita kembali..kasihan  surad..tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa..mari kita kembali …”
Begitu puluhan penduduk meninggalkan tempat yang dianggap sacral itu raib dibalik dinding bukit sebelah barat, dari sebuah celah batu sesosok bayangan dengan mengapit keranjang besar di lengan kirinya tampak tertatih mendaki bukit terjal ditengah guyuran hujan dihadapannya, sekitar sepenanakan nasi sosok ini sampai disebuah tebing terjal dimana dihadapannya menganga sebuah bibir jurang yang lebar, sosok ini lantas singkap kain ungu yang menutupinya, tampak disana tergolek sesosok orok laki-laki yang masih merah dengan ari-ari yang masih basah dengan genangan darah.
“penguasa jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya..terimalah persembahan ini…”
Gelegar halilintar terdengar memekakan telinga, disusul seberkas sinar hitam mencuat dari dalam jurang, tak lama satu sosok perempuan berparas jelita kini berada tiga langkah dihadapan sosok lelaki dengan keranjang berisi orok didalamnya.
“bagus..rajes, kau memang budak setia ku..kelak  pedang sangga buana akan jadi milikmu, dan kau akan menguasai dunia kongkow tanah Hindustan ini..”
“baik master..sekarang terimalah persembahan ini..”
Rajes lantas angsurkan keranjang berisi orok kedepan wanita jelita yang dengan sekali jentikan jari orok yang berada didalam keranjang terangkat dan melayang kearah wanita ini dan dengan  sigap mendukungnya ditangan sebelah kirinya.
“nah, rajes..tinggal  satu orok lelaki lagi, maka pedang sangga buana akan menjadi milik mu..”
“maap master..apa saya bisa melihat pedang itu sekali lagi..”
“apa kau meragukan aku rajes..”
“maap master..bukan maksud…”
“ingat rajes..pantanganmu,  jangan sampai darah dari seorang perempuan mengenai dirimu..bila itu kau langgar..kau tanggung sendiri akibatnya..”
“saya paham master..”
“sekarang pergilah  ke goa level enam..berendamlah dengan embun merah semenanjung Himalaya..”
Selesai berucap sosok wanita jelita ini lesatkan dirinya kejurang yang menganga dihadapannya dengan mendukung orok yang ada didekapannya.
Sesaat rajes tarik dalam-dalam napasnya, sedang sanjaya tampak serius dihadapannya
“begitulah ceritanya tuan pendekar..” ujar rajes
“lantas kenapa kutuk menimpa dirimu..rajes, apa pantangan itu kau langgar..”
“tepat tuan pendekar, tak sengaja ketika saya menculik orok yang ke empat puluh, para penduduk berhasil mengepung dan karena panic saya serang para penduduk membabi buta, tak dinyana diantara penduduk yang saya bunuh terdapat seorang perempuan dan darahnya langsung memercik ketubuh saya..”
(mengenai kutuk yang menimpa rajes, harap baca episode: praja pati wilwatikta, pen)
“baiklah rajes, terimakasih atas ceritamu..sekarang pulanglah..”
Rajes hanya mengangguk pelan, pemuda ceking ini lantas balikan badan siap meninggalkan kawasan jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya, namun belum sampai dua langkah dirasakannya punggung kirinya terasa dingin, dan begitu meraba dadaanya sepercik darah muncrat dengan ujung pedang menyembul didadanya…
“rajes manusia bodoh..matipun dalam keadaan bodoh..mau saja kau ditipu mahluk  iblis, asal kau tahu pedang yang sekarang menghujam jantungmu ini adalah pedang sangga buana, dan seharusnya kau berterimakasih padaku karena kutukanmu aku akhiri sampai disini..”
Tubuh pemuda ceking ini ambruk dengan bilah pedang sangga buana menancap dipunggung tembus ke dada sebelah kirinya, matanya hanya mampu melotot tanpa bisa bersuara, detik berikutnya nyawanya pupus sudah.
Dengan tanpa perasaan sanjaya tending punggung pemuda malang ini, yang dengan sekejap tubuhnya terlempar dengan bibir jurang tanpa dasar siap menyambutnya.
Sanjaya seka darah yang menempel dibadan pedang, matanya masih sempat melihat tubuh rajes yang melayang menembus kabut yang menaungi pertegahan jurang kemudian pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini dengan sebat meloncat kebibir jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya.

ooooOoooo


     pada episode. Praja pati wilwatikta dikisahkan rombongan dari kerajaan pakuan padjajaran
dimana sang prabu agung tatar pasundan  prabu lingga buana dan putrinya dyah citra resmi pitaloka dengan menggunakan beberapa perahu layar bertolak ke kota raja majapahit untuk melangsungkan pernikahan atas pinangan prabu hajam wuruk terhadap putri padjajaran ini, disebuah bilik kapal dyah pitaloka tampak memandang derasnya sungai dihadapannya.
“gusti ayu pitaloka, ada apa memanggil hamba..”
“mban dalem, sebentar lagi kita sampai dipelabuhan tuban, apa sampan yang saya pesan saudah kau persiapkan..”
“hamba gusti putri..”
“mban dalem..saya serahkan pedang mustika giok hijau ini pada dirimu, kelak saya akan mencarimu untuk mengambil nya kembali..”
“baik gusti putri…”
Dyah pitaloka lantas berjalan kearah buritan perahu layar dan dengan sekali kelebatan tubuhnya telah berada di dalam sampan kecil yang membawanya meluncur mendahului rombongan kerajaan, menuju majapahit.

Selesai



Tidak ada komentar:

Posting Komentar