Rabu, 21 Desember 2011

KUTUKAN SANG PENDEKAR

   Setelah dhuta dari majapahit yang menyerahkan surat permintaan maap atas tragedy bubat dan abu kremasi prabu linggabuana serta putri dyah pitaloka berlalu dari balerung kraton padjajaran, dari balik singgasana muncul satu sosok pemuda gagah dengan mahkota emas bertengger dikepalanya, dialah niskala wastu kencana yang mempunyai nama kecil rd. anggalarang yang telah ditabalkan sebagai putra mahkota yang kelak menggantikan ayah handanya prabu linggabuana, menjadi prabu di kedaton padjajaran.


“angger anggalarang, paman mengerti akan keputusan mu untuk menantang duel dengan mahapatih gadjah mada tidak bias ditawar lagi, namun seperti tradisi yang telah turun-temurun sebelum memegang tampuk kekuasaan dipadjajaran, dirimu harus melukukan lelaku pengembaraan selama satu tahun,tradisi inipun pernah dilakukan oleh kakek buyut, eyang serta ramandamu dimasa mudanya..”

Anggalarang Cuma diam tepekur dihadapan pamannya, dirinya menyadari betul akan tradisi yang telah berlaku dikerajaannya.


“saya siap, paman mangkubumi..dan selama saya dalam lelaku pengembaraan saya percayakan penuh kedaton padjajaran pada paman mangkubumi bunisora suradipati..”

“satu lagi angger anggalarang, mahapatih gadjah mada menyerahkan kerisnya pada dirimu entah apa maksudnya Cuma dirimu yang bisa menjabarkannya sendiri..”

Ujar mangkubumi bunisora suradipati sambil mengangsurkan sebilah keris yang langsung diterima oleh anggalarang

“dengan keris itu, mahapatih gadjah mada mengikrarkan sumpah palapanya..”

“baiklah paman mangkubumi, saya pamit untuk bersiap-siap melakukan lelaku pengembaraan..”

Mangkubumi bunisora suradipati Cuma mengangguk pelan, sesaat dia menarik napas panjang dan berat diperhatikannya sesaat punggung anggalarang yang telah raib dibalik tembok balerung adik dari sang prabu linggabuana ini terus termenung ditempatnya.


Mangkubumi bunisora teringat kembali, sehari setelah mendengar kabar ksatria-ksatria padjajaran sang prabu linggabuana dan putri dyah pitaloka gugur dibubat dibantai pasukan elit bhayangkara majapahit, hampir saja dirinya menyiapkan segenap pasukan padjajaran untuk menyerang ke majapahit, namun setelah membaca surat langsung permohonan maap dari sang prabu muda hajam wuruk, lelaki yang masih tampak kekar diusianya yang mulai sepuh ini kendur amarahnya.



“saya selaku prabu anom majapahit, meminta maap atas tragedy yang terjadi di palagan bubat yang telah menewaskan ksatria-ksatria padjajaran, itu semua menjadi tanggung jawab saya, apapun tuntutan dari pihak padjajaran akan saya terima dengan lapang dada, saya berjanji majapahit tidak akan mengusik padjajaran, karena padjajaran adalah negeri merdeka dan saya harap demikian pula dengan padjajaran…”

Karena isi surat itulah, mangkubumi bunisora suradipati luluh amarahnya, dia menyadari kalaupun melakukan peperangan dengan pihak majapahit tentunya sudah dapat dipastikan hasilnya, dan yang menanggung serta menjadi korban sudah barang tentu kawula alit yang tak berdosa.

Mangkubumi bunisora suradipati menyadari betul hal itu, tapi entah dengan anggalarang….


“paman mangkubumi saya sudah siap…”

Mangkubumi bunisora tersentak dari lamunannya, dihadapannya kini berdiri satu sosok anggalarang yang telah melepaskan semua atribut kebangsawanannya, dengan celana hitam dan baju putih sederhana serta satu buntalan butut dipunggung sebelah kiri, dipastikan tak seorangpun dapat mengenali sosok ini sebagai calon raja padjajaran.

“pergilah dengan kepala tegak  kedepan angger..restu paman dan seluruh kawula padjajaran menyertai setiap langkahmu..”

Anggalarang Cuma mengangguk pelan, dengan sekali hentakan kakinya ketanah sosoknya kini telah berada di luar pintu gerbang istana dan saat berikutnya raib dengan meninggalkan angin bersiur menggoyangkan pepohonan perdu dihalaman istana.


ooooOoooo


     Seratus hari setelah sanjaya digembleng oleh pertapa sapta raga di sebuah goa jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya, kanuragan pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini semakin meningkat, ringan tubuhnya hampir sempurna, separuh kedigjayaan dari sang pertapa hampir dikuasainya.

Pagi itu sanjaya tampak bersila disebuah batu datar, tubuh pemuda ini tampak bergetar hebat dari bawah tubuhnya perlahan terpancar tujuh sinar membentuk pelangi, detik berikutnya sosoknya dengan cepat dapat berubah sesuai yang dikehendakinya.

“hahahaha…aji sapta daya mu, hampir sempurna sanjaya..dengan ajian itu dipastikan jurus kuntum kilat melecut raga tingkat tiga yang dimiliki manggala bisa kau tandingi..”

Sosok sanjaya yang tengah berubah menjadi seekor harimau kumbang ini tampak seringaikan taringnya detik berikutnya dirinya telah berubah ujud menjadi pertapa sapta raga, yang membuat sang pertapa ini tercengang ditempatnya.


“luar biasa..pemuda ini, orang biasa membutuhkan ratusan tahun untuk bisa menguasai separuh inti ajian sapta daya, sedang yang telah memiliki dasar ilmu kanuragan memerlukan sepuluh tahun, tapi pemuda ini hanya membutuhkan seratus hari saja..ahhh..kenapa sekarang diriku menjadi khawatir…”

Membatin pertapa sapta raga, yang tiba-tiba saja perasaan was-was menguasai relung sanubarinya..

“guru..bagaimana perkembangan ilmu saya..”

Pertapa sapta raga tersentak dari lamunannya, dihadapannya kini tampak berdiri sanjaya dengan menyerupai sosok dirinya.

“kenbali ke ujud dirimu sanjaya..” teriak pertapa sapta raga tergagap

Dengan cepat sanjaya rangkapkan kedua tangannya kedada, disusul perubahan asli dirinya dengan segera

“ketahuilah sanjaya, aji sapta daya walaupun hebat, tentu masih ada yang lebih hebat lagi..pergunakan ilmu itu dengan bijak, ilmu apapun bila digunakan dengan amarah dan angkara akan menjadi keras menghancurkan orang lain dan diri sendiri, tapi sebaliknya jika ilmu digunakan dengan penuh kasih dan cinta, ilmu akan lembut dan menyadarkan sang pemilik serta musuh mu..apa kau mengerti sanjaya…”

Sanjaya Cuma mengangguk pelan sambil merangkapkan kedua tangannya didepan dada

“guru boleh saya berpendapat…”

“silahkan sanjaya…”

“guru menurut saya, satu ilmu tidaklah berarti tanpa adanya pembuktian..”

“apa maksudmu sanjaya..”

“maksud saya adalah….”

“GRRRRRRAAAAAKKKKK…!!!”


Pertapa sapta raga tersentak, orang tua ini merasakan seluruh tubuhnya mendadak dingin, detik berikutnya yang dirasa adalah kesakitan yang amat sangat….


Betapa tidak, sanjaya yang tiba-tiba berubah menjadi macan kumbang dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata telah menyerang dan mencabik-cabik dirinya..

“san..sanja..sanjaya..apa..yang kau..kau..lakukannn..”

Sentak pertapa sapta raga terbata-bata, tubuh pertapa ini terlihat sangat mengenaskan dengan puluhan luka robek disekujur tubuhnya..

“pertapa tolol..matipun dalam keadaan tolol…”

“murid..murid murtad..kenapa..kenapa..wiku dharma persada, bisa mengambil mu menjadi muridnya..”

“aku tidak mau ada yang menandingi ilmuku..aku calon raja diraja dunia persilatan tanah jawadwipa,dan bila perlu tanah Hindustan ini..hahaha..”

Terbahak sanjaya yang kini telah berubah menjadi dirinya sendiri, dan dengan kejam kembali menusukan pedang sangga buana yang kemarin dicurinya di dada pertapa sapta raga..

“terkutuk..kau sanjaya..hidupmu akan sengsara seumur-umur, dan kaupun akan tewas dengan pedang sanggga buana dan ajian-ajian yang kau miliki…hhhhh..”

Seiring hembusan sang bayu dan gelegar halilintar berturut –turut, pertapa sapta raga menghembuskan napasnya yang terakhir….


Dengan tanpa perasaan dicabutnya pedang sangga buana dari dada pertapa sapta raga, lalu sekali tending tubuh pertapa ini terlihat terlempar keluar goa dengan jurang menganga siap menyambut tubuhnya.

“hahahaha..persetan dengan kutukan mu pertapa bodoh..yang jelas akulah sekarang pendekar tanpa tanding…hahahaha…”


Sementara diluar goa jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya, hujan badai turun dengan ganasnya, sambaran kilat dan gelegar halilintar sambung menyambug, alam seakan murka dengan tingkah polah mahluk yang ada disekitarnya.


ooooOoooo


     Sampan kecil itu meluncur dengan deras membelah sungai sugaluh kearah matahari tenggelam, dua orang muda-mudi tampak duduk berhadapan, sang pemuda sesekali mengayuh sampan dengan dayung agar sampan itu melaju dengan baik, sedang sang gadis sesekali mengayuhkan sampan dengan tangannya..


“gusti putri hamba tidak mengerti, bukankah gusti telah tewas dialun-alun bubat..”

Dara ayu ini Cuma tersenyum simpul, dibetulkannya patrem yang terselip dirambutnya yang bergelung

“kakang sungging, kadang apa yang kita lihat..belum tentu sesuai dengan kebenarannya..”

“yah..gusti benar..Cuma hamba masih penasaran, ketika gusti tewas wajah gusti berubah menjadi perempuan setengah baya..”

“pengorbanan mbok. mban dalem, sangat besar..tapi itu mungkin sudah takdir sang maha kuasa..kita mahluknya Cuma menunggu kersa..dan kehendaknya..”

“kita sekarang mau kemana gusti putri..”

“kakang sungging, jangan panggil aku gusti putri lagi..karena dyah pitaloka yang seorang putri itu telah tewas..kini aku menjadi rakyat jelata seperti dirimu..”

“tapi apa alasannya gusti putri…”

“kakang sungging..kadang kita melakukan sesuatu tanpa perlu adanya alasan..sudah lama aku terkungkung didalam kedaton padjajaran, aku bosan dengan kehidupan disana..aku ingin bebas..merdeka..menentukan kehendak dan menjadi diri sendiri..terserah kakang mau membawa diriku kemana..”


Dua orang muda-mudi yang ternyata sungging prabangkara dan putri kedaton padjajaran dyah pitaloka, sesaat diam dalam angan masing-masing, sementara lembayung senja perlahan melingkupi alam sekitarnya, desiran angin dan kicau ungags menorehkan suasana alam nan abstrak, tanpa keduanya sadari dari dibawah sampan yang tengah ditumpanginya..satu sosok hitam terlihat bergayut diburitan sampan mengikuti laju sampan yang terus meluncur membelah sungai sugaluh..


Selesai


Salam Bhumi deres mili


penulis


Segera menyusul: ANGKARAMURKA MERAJALELA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar