Rabu, 21 Desember 2011

TRAGEDY PATREM SAKA DOMAS


     Mentari baru saja menampakkan sinarnya yang hangat ketika sekitar lima buah perahu layar besar merapat dipelabuhan tuban, tak lama dari dalam perahu berloncatan beberapa orang bertampang gagah berpakaian prajurit lengkap dengan tameng dan tombak ditangan mengawal satu sosok lelaki dengan mahkota gemerlapan bertengger dikepalanya sedang dibelakangnya berjalan dengan anggun satu sosok dara ayu berpakaian ringkas berwarna merah hati dengan sebilah pedang hijau terselip dipinggang kirinya.
“paman rakyan jalawatra, apa kedaton majapahit masih jauh dari sini..”
“maap gusti prabu, dari pelabuhan tuban kita akan melanjutkan perjalanan berkuda kearah timur, kurang lebih setengah hari kita akan sampai ditapal batas majapahit..”
“baiklah, putriku dyah pitaloka..dirimu dan ibundamu menaiki tandu, sedangkan aku akan berkuda bersama rakyan jalawatra didepan..dan kalian para prajurit kawal kami disamping kanan dan kiri serta belakang..”
“baik gusti prabu..”
Rombongan yang tak lain dari prabu lingga buana, raja agung pasundan yang bermaksud menyelenggarakan pernikahan atas putri padjajaran dyah pitaloka dengan raja majapahit raja sanegara prabu hayam wuruk ini lantas naik keatas punggung kudanya dan tak lama iring-iringan calon pengantin ini bergerak meninggalkan pelabuhan tuban.

Sementara di kedaton majapahit, kemeriahan tampak terlihat dari sejak fajar, umbul-umbul dan bendera serta janur kuning terpasang dengan apik disetiap sudut kedaton, para kawula alit telah sesak memadati alun-alun utara dan selatan demi menyaksikan raja mereka melangsungkan pernikahannya dengan putri padjajaran.
Dari arah tembok gerbang satu sosok berpakaian hitam ringkas dengan buntalan butut dipunggung kirinya terlihat berjalan menyeruak diantara kerumunan orang, sosok ini kemudian duduk disebuah palang bamboo yang disediakan penjual makanan musiman yang berderet memanfaatkan keramaian yang tengah berlangsung.
“paman ramai sekali disini, ada acara apa ya..” ujar pemuda baju hitam sambil teguk wedang jahe digelas bamboo
Sesaat pedagang makana ini pandang pemuda yang ada dihadapannya
“anak muda, pasti kamu bukan orang majapahit..”
“maksud paman..”
“siapapun tahu hari ini, raja majapahit prabu hajam wuruk akan melangsungkan pernikahan dengan putri dyah pitaloka dari kerajaan padjajaran..”
Pemuda baju hitam ini tampak tercenung
“dyah pitaloka, dalam mimpi ku beberapa waktu lalu..putri padjajaran itu menyuruh aku kemajapahit untuk menyelamatkan dirinya..menyelamatkan dari apa..bahkan sekarang dia mau menikah dengan prabu hajam wuruk..ahh..ada apa ini sebenarnya…”
Pemuda baju hitam yang tak lain dari sungging prabangkara ini masih termenung ditempatnya, berbagai macam pertanyaan menyeruak dalam relung bhatinnya.
(mengenai mimpi sungging prabangkara, pembaca bisa lihat di episode: pinangan berdarah, pen)
“nasib, jodoh dan takdir manusia kalau dipikir begitu lucu, aku yang tak sengaja melukis putri padjajaran itu hanya untuk mengaguminya, malah mempertemukan raja majapahit itu dengan calon permaisuri yang diidam-idamkannya..apakah itu jodoh..atau Cuma kebetulan saja..”
Sungging prabangkara masih merenung ditempatnya, tapi pemuda ini lantas tersentak manakala dari arah alun-alun bubat sebelah tenggara terdengar hiruk-pikuk dan teriakan serta dentingan pedang beradu disertai dengan pekikan dan teriakan yang membahana, tak menunggu lama sungging prabangkara melesat kearah dimana keributan berlangsung.

ooooOoooo

SebeSebelum kita melihat apa yang terjadi di alun-alun bubat sebelah tenggara, ada baiknya pembaca ikuti apa yang terjadi tiga hari sebelumnya…

     Begitu mendengar rombongan prabu linggabuana dan putri dyah pitaloka yang akan melangsungkan pernikahan dengan prabu hajam wuruk akan sampai dipelabuhan tuban, mahapatih gadjah mada yang diutus langsung oleh prabu hajam wuruk untuk menjemput calon penganten dari kerajaan padjajaran saat itu juga segera mengadakan pertemuan tertutup dengan para pembesar majapahit.
“perwira demung wira seta, apa tapal batas alun-alun sudah kau amankan dimana rombongan dari padjajaran itu akan sampai disana..”
“hamba, mahapatih gadjah mada..anak buah hamba yang akan mengurusnya..”
“ingat demung wira seta, rombongan dari padjajaran jangan sampai kau belokkan kearah kanan dimana tapal batas saserahan berada, langsung kau bawa rombongan itu kearah tapal batas pasanggrahan yang berada disebelah kiri..apa kau paham perwira demung wira seta..”
“hamba, gusti patih..”
Tapal batas saserahan merupakan sebuah lorong memanjang yang akan langsung tembus ke alun-alun bubat sebelah tenggara dimana pada masa itu dipergunakan untuk menerima upeti-upeti dari kerajaan bawahan majapahit yang diwaktu-waktu tertentu mengirimkan upetinya.
Sedengkan tapal batas pasanggrahan, yang terletak disebelah kiri dari tapal batas seserahan merupakan tempat dimana dari gapura bajang batu langsung tembus kearah alun-alun selatan dan dipergunakan  buat acara-acara besar akan dilangsungkan seperti menerima tamu agung atau acara seperti pernikahan.
Setelah memantau dan mengatur segala sesuatu buat penyambutan calon penganten dari padjajaran mahapatih gadjah mada kembali ke istana kedaton majapahit.
Tiga hari kemudian
    Mentari mulai condong kebarat ketika rombongan dari padjajaran memasuki kota raja majapahit
“paman rakyan jala watra, ternyata kota raja majapahit sangat ramai..”
Ujar sang prabu linggabuana sambil memperlambat laju kudanya.
“benar gusti prabu..sebentar lagi kita memasuki pintu gerbang bajang batu yang legendaris itu..”
Rombongan mempelai penganten wanita dari padjajaran itu terus melaju memasuki pintu gerbang gapura bajang batu, dua orang prajurit penjaga gerbang segera menyambut iring-iringan tersebut dan mengarahkannya kearah kanan dimana tapal batas saserahan berada, dialun-alun bubat sebelah tenggara rombongan dari kerajaan padjajaran ini beristirahat.
“kakang demung wira seta, kenapa kakang menempatkan rombongan dari padjajaran itu ditapal batas saserahan, bukankah gusti patih gadjah mada menyuruh kita menempatkannya di tapal batas pasanggrahan..”
“kau diam saja prajurit, apa kau tidak mau naik pangkat..”
“maksud kakang demung apa..”
“ini kesempatan membuat mahapatih gadjah mada bangga dengan kita..”
“saya belum paham maksud kakang demung..”
“kau tentu masih ingat dengan sumpah palapa yang di ikrarkan mahapatih gadjah mada beberapa waktu lalu sebelum era raja hajam wuruk..raja yang sekarang ini..”
“kita semua dimajapahit mengetahuinya kakang…”
“nah..hanya tatar kerajaan pasundan yang belum ditaklukan oleh majapahit, dengan menempatkan mereka ditapal batas saserahan, secara tidak langsung kerajaan sunda itu telah tunduk dibawah kekuasaan majapahit dan sumpah palapa dari mahapatih gadjah mada sempurna sudah, dan tidak menutup kemungkinan kita akan dinaikan pangkatnya..”
“tapi kakang demung…”
“sudahlah prajurit..kau lanjutkan saja tugasmu..”
Prajurit majapahit yang bernama lintang ngalih ini Cuma diam, dia serba salah, disisi lain jabatan dan pangkat yang dijanjikan demung wira seta sebagai atasannya begitu menggodanya, sedang sisi hati kecilnya merasa miris…namun, kembali iming-iming kenaikan pangkat dan kedudukan membutakan akal sehatnya.

ooooOoooo

“perwira, kenapa prabu hajam wuruk belum menjemput kami..”
Kata rakyan jalawatra pada satu saat bertanya pada demung wira seta
“menjemput apa..bukankah kalian datang dari padjajaran untuk menyerahkan upeti yaitu putri padjajaran sebagai tanda taklukan..”
Rakyan jalawatra tersentak, begitupun dengan prabu linggabuana sampai terhenyak dari duduknya.
“maksud perwira apa..”
“atas perintah mahapatih gadjah mada, rombongan kalian ditempatkan di tapal batas saserahan yang artinya kalian orang padjajaran takluk atas duli majapahit, dengan putri padjajaran sebagai upetinya..”
“jaga mulutmu perwira..panggil mahapatih gadjah mada kemari..”
Ujar rakyan jalawatra marah
“ini perintah langsung mahapatih, cukup jelas..sekarang letakan senjata kalian sebelum menghadap prabu hajam wuruk..” sentak demung wira sengit
“kurang ajar..kalian…”
Rakyan jalawatra cabut kujang yang terselip dipinggang kanannya
“hentikan paman rakyan jalawatra..”
Sebuah suara penuh wibawa memecah ketegangan diantara keduanya
“gusti prabu kita telah dihina dan dijebak..” ujar rakyan jalawatra berang
“paman rakyan jalawatra mohon sarungkan kembali kujang mu…”
“maap gusti prabu, tidak sepantasnya memohon pada hamba…”
Ujar rakyan jalawatra sambil rangkapkan kedua tanganya kekening setelah menyarungkan kembali senjata kujang yang ada digenggamanya.
Raja pasundan ini dengan tersenyum arip hampiri perwira demung wira seta
“perwira, mungkin ini salah paham..mohon panggil mahapatih gadjah mada menemui kami..”
Perwira demung wira seta tergagap begitu raja agung tatar pasundan ini memandang dirinya, wibawa dari aura raja padjajaran ini memang sungguh luar biasa, namun…karena kepalang tanggung dengan apa yang diperbuatnya, maka demung wira seta dengan suara bergetar menjawab..
“maap..maap..gus..gusti prabu..ini sudah jelas perintahnya..mohon dimaklumi..”
“baiklah perwira, beri kami waktu untuk berunding..” ujar prabu linggabuana selanjutnya, perwira demung wira seta Cuma mengangguk dengan tangan masih gemetaran.
“kakang demung..bagai mana ini…” ujar prajurit lintang ngalih demi dilihatnya atasannya mandi keringat dan gemetaran
“kau siapkan pasukan mu…” ujar demung wira berbisik dan masih gemetaran
“tapi..kakang…”
“ini perintah..siagakan pasukan..cepat..”
“baik..kakang…”
Dengan terburu-buru prajurit lintang ngalih kembali kebarisan prajurit majapahit, sementara prabu lingga buana dan rakyan jalawatra tampak berbincang serius
“para punggawa padjajaran, kita datang ke majapahit dengan niat baik..tapi mengapa kita diperlakukan seperti ini..” ujar prabu lingga buana memecah kebekuan
“maap, gusti prabu..sudah jelas kita dijebak dan dihina..”
“lantas apa yang harus kita lakukan..”
“kita lawan mereka, demi nama baik padjajaran..”
“harus ada yang menyelamatkan putriku…” ujar prabu linggabuana bergetar
“saya juga akan ikut membela nama baik padjajaran ayahanda prabu..”
Ujar dyah pitaloka, yang tiba-tiba hadir dalam perundingan itu
Prabu lingga buana tercenung manakala menatap putrinya dengan pedang giok hijau tergenggam ditangan kanannya, sekilas ingatannya tertuju pada adiknya sang mangku bumi bunisora yang tidak ikut serta ke majapahit.
“putriku..ayahanda salah, tidak mendengarkan pirasat pamanmu mangku bumi bunisora..”
“ayahanda sudahlah..semuanya telah terjadi…”
“baiklah..demi nama baik padjajaran kita adakan perlawanan…”
Dan begitulah….
Walau dengan jumlah prajurit yang sedikit ksatria-ksatria padjajaran mengadakan perlawanan demi menjaga wibawa dan nama baik padjajaran, keributan dialun-alun bubat sebelah tenggara inilah yang membuat sungging prabangkara melesat kearah dimana teriakan dan denting suara senjata beradu terdengar.
Sesampainya dialun-alun bubat, sungging prabangkara tersentak, dihadapan matanya terpangpang pemandangan yang sangat mengerikan pasukan padjajaran yang berjumlah kecil tampak dibantai dan dilibas habis  oleh prajurit majapahit.
Sang prabu lingga buana dengan senjata kujang emas tampak bertarung dengan gagah berani, setiap sambaran kujangnya sepuluh prajurit majapahit roboh bermandikan darah, begitupun dengan rakyan jalawatra kujang perak ditangannya bagai air bah menerjang setiap prajurit majapahit yang mendekatinya.
     Sementara dyah pitaloka dengan pedang giok hijau ditangan tampak bagai alap-alap menyambar kian kemari, dengan sekali gerakan pedang sepuluh prajurit dapat dirobohkannya.
Keributan dibubat terdengar sampai dikedaton majapahit dan memaksa prabu hajam wuruk dan mahapatih gadjah mada segera berangkat ke alun-alun bubat
     Melihat bayaknya prajurit majapahit yang tewas, mahapatih gadjah mada segera turun gelanggang dan menyuruh prajurit bhayangkara membatu menghadapi ksatria-ksatria padjajaran yang dalam waktu singkat satu demi satu tumbang berguguran bersimbah darah ditanah bubat.
“kalian orang padjajaran kenapa membantai prajurit majapahit..”
Teriak patih gadjah mada menggelegar, dan langsung terjun kegelanggang menghadapi rakyan jalawatra
“kau yang bernama gadjah mada..” teriak rakyan jalawarta geram
“benar anak muda..aku gadjah mada…”
“terima seranganku…”
Dengan gencar kujang perak ditangan rakyan jalawarta membeset kearah tenggorokan patih majapahit ini
Dengan ringan patih gadjah mada miringkan sedikit badannya kesamping, kujang perak lewat sesenti dari tenggorokannya..
Sepuluh jurus telah berlalu, disatu kesempatan rakyan jalawatra melihat kelengahan dari patih gadjah mada, pemuda ini lantas merangsek kedepan mengarah ketiak patih gadjah mada
“breeeessss…”
 Tak dinyana Keris dari patih gadjah mada telak menghujam dada rakyan jalawatra dan memaksa kesatria padjajaran ini ambruk ketanah bubat dengan nyawa lepas dari raganya.
Melihat rakyan jalawarta tewas, prabu lingga buana lesatkan badannya dan dalam sekejap telah berhadapan langsung dengan patih gadjah mada.
Pertempuran di alun-alun bubat semakin seru dan sengit, tapi apalah daya pajurit padjajaran yang berjumlah sedikit, satu per satu gugur dan tumbang .
Prabu linggabuana terkapar bermandikan darah dengan keris menancap didada sebelah kirinya, melihat ayahhandanya tewas putri dyah pitaloka yang tengah mengamuk dengan pedang giok hijaunya menjerit dan menubruk tubuh prabu linggabuana.
“kalian pembunuh…” ujar dyah pitaloka geram
“putri kenapa kalian menyerang kami..” ujar patih gadjah mada bergetar
“tanyakan saja pada setan dineraka…”
Jerit dyah pitaloka sambil kembali babatkan pedang giok hijaunya kearah patih gadjah mada, putri padjajaran ini tak memperdulikan lagi keadaan dirinya, amarahnya telah memuncak diubun-ubun menyaksikan orang-orang yang dikasihinya tewas secara mengenaskan, tapi lambat laun tenaga dyah pitaloka terkuras habis dan dalam keputus asaan dari balik rambutnya dicabutnya patrem atau tusuk konde berupa keris kecil…dan…menusukannya di jantungnya sendiri…
Dyah pitaloka belapati dengan sebilah patrem bernama saka domas, tubuh putri padjajaran ini ambruk ketanah dan disaat pandangan matanya kabur sesosok bayangan telah menyambarnya dan membawanya ke tempat yang aman.
“si..siapa..siapa..kamu..”
“aku sungging prabangkara…tenang gusti putri.saya akan menyelamatkanmu..”
Sesaat tubuh dyah pitaloka tersentak, dipandangnya dengan sayu pemuda yang ada dihadapannya
“benar..kau, sungging prabangkara..”
“benar gusti putri..”
Dyah pitaloka tersenyum
“bawalah pedang giok hijau dan patrem saka domas ini ke muara sungai sugaluh..”
“ada apa disana putri..”
“jangan banyak bertanya dan berfikir..lakukan sajaaaaahhh..”
Bersamaan denggan semilir hembusan sang bayu, sosok dyah pitaloka terkapar dalam pelukan sungging prabangkara.
Sungging prabangkara tertegun manakala mengamati secara detai wajah dari putri padjajaran ini perlahan berubah menjadi seorang wanita paruh baya, dialah emban dalem..pengasuh dari dyah pitaloka…lalu kemana dyah pitaloka yang asli….

ooooOoooo

Alun-alun bubat tampak sepi dan lengang, semilir angin utara membawa bau busuk kesesantro alun alun bekas pertempuran, semua jasad prajurit majapahit dan padjajaran telah dikremasi dengan layak, demikian pula dengan jasad yang disangka dyah pitaloka.dan prabu linggabuana.

Sementara itu sungging prabangkara yang telah sampai dimuara sugaluh tampak terpana ditempatnya makanala sebuah sampan dengan seorang gadis jelita tampak menunggunya, gadis itu menyuruhnya  naik kedalam sampan dan tak lama keduanya melaju dibawa sampan menyusuri sungai sugaluh.
Selesai

salam bhumi deres mili

Akan datang : Sang Durjana




Tidak ada komentar:

Posting Komentar