Mentari
baru saja menampakkan sinarnya yang hangat ketika sekitar lima buah
perahu layar besar merapat dipelabuhan tuban, tak lama dari dalam perahu
berloncatan beberapa orang bertampang gagah berpakaian prajurit lengkap
dengan tameng dan tombak ditangan mengawal satu sosok lelaki dengan
mahkota gemerlapan bertengger dikepalanya sedang dibelakangnya berjalan
dengan anggun satu sosok dara ayu berpakaian ringkas berwarna merah hati
dengan sebilah pedang hijau terselip dipinggang kirinya.
“paman rakyan jalawatra, apa kedaton majapahit masih jauh dari sini..”
“maap
gusti prabu, dari pelabuhan tuban kita akan melanjutkan perjalanan
berkuda kearah timur, kurang lebih setengah hari kita akan sampai
ditapal batas majapahit..”
“baiklah,
putriku dyah pitaloka..dirimu dan ibundamu menaiki tandu, sedangkan aku
akan berkuda bersama rakyan jalawatra didepan..dan kalian para prajurit
kawal kami disamping kanan dan kiri serta belakang..”
“baik gusti prabu..”
Rombongan
yang tak lain dari prabu lingga buana, raja agung pasundan yang
bermaksud menyelenggarakan pernikahan atas putri padjajaran dyah
pitaloka dengan raja majapahit raja sanegara prabu hayam wuruk ini
lantas naik keatas punggung kudanya dan tak lama iring-iringan calon
pengantin ini bergerak meninggalkan pelabuhan tuban.
Sementara
di kedaton majapahit, kemeriahan tampak terlihat dari sejak fajar,
umbul-umbul dan bendera serta janur kuning terpasang dengan apik
disetiap sudut kedaton, para kawula alit telah sesak memadati alun-alun
utara dan selatan demi menyaksikan raja mereka melangsungkan
pernikahannya dengan putri padjajaran.
Dari
arah tembok gerbang satu sosok berpakaian hitam ringkas dengan buntalan
butut dipunggung kirinya terlihat berjalan menyeruak diantara kerumunan
orang, sosok ini kemudian duduk disebuah palang bamboo yang disediakan
penjual makanan musiman yang berderet memanfaatkan keramaian yang tengah
berlangsung.
“paman ramai sekali disini, ada acara apa ya..” ujar pemuda baju hitam sambil teguk wedang jahe digelas bamboo
Sesaat pedagang makana ini pandang pemuda yang ada dihadapannya
“anak muda, pasti kamu bukan orang majapahit..”
“maksud paman..”
“siapapun
tahu hari ini, raja majapahit prabu hajam wuruk akan melangsungkan
pernikahan dengan putri dyah pitaloka dari kerajaan padjajaran..”
Pemuda baju hitam ini tampak tercenung
“dyah
pitaloka, dalam mimpi ku beberapa waktu lalu..putri padjajaran itu
menyuruh aku kemajapahit untuk menyelamatkan dirinya..menyelamatkan dari
apa..bahkan sekarang dia mau menikah dengan prabu hajam wuruk..ahh..ada
apa ini sebenarnya…”
Pemuda
baju hitam yang tak lain dari sungging prabangkara ini masih termenung
ditempatnya, berbagai macam pertanyaan menyeruak dalam relung bhatinnya.
(mengenai mimpi sungging prabangkara, pembaca bisa lihat di episode: pinangan berdarah, pen)
“nasib,
jodoh dan takdir manusia kalau dipikir begitu lucu, aku yang tak
sengaja melukis putri padjajaran itu hanya untuk mengaguminya, malah
mempertemukan raja majapahit itu dengan calon permaisuri yang
diidam-idamkannya..apakah itu jodoh..atau Cuma kebetulan saja..”
Sungging
prabangkara masih merenung ditempatnya, tapi pemuda ini lantas
tersentak manakala dari arah alun-alun bubat sebelah tenggara terdengar
hiruk-pikuk dan teriakan serta dentingan pedang beradu disertai dengan
pekikan dan teriakan yang membahana, tak menunggu lama sungging
prabangkara melesat kearah dimana keributan berlangsung.
ooooOoooo
SebeSebelum
kita melihat apa yang terjadi di alun-alun bubat sebelah tenggara, ada
baiknya pembaca ikuti apa yang terjadi tiga hari sebelumnya…
Begitu mendengar rombongan prabu linggabuana dan putri dyah pitaloka
yang akan melangsungkan pernikahan dengan prabu hajam wuruk akan sampai
dipelabuhan tuban, mahapatih gadjah mada yang diutus langsung oleh prabu
hajam wuruk untuk menjemput calon penganten dari kerajaan padjajaran
saat itu juga segera mengadakan pertemuan tertutup dengan para pembesar
majapahit.
“perwira
demung wira seta, apa tapal batas alun-alun sudah kau amankan dimana
rombongan dari padjajaran itu akan sampai disana..”
“hamba, mahapatih gadjah mada..anak buah hamba yang akan mengurusnya..”
“ingat
demung wira seta, rombongan dari padjajaran jangan sampai kau belokkan
kearah kanan dimana tapal batas saserahan berada, langsung kau bawa
rombongan itu kearah tapal batas pasanggrahan yang berada disebelah
kiri..apa kau paham perwira demung wira seta..”
“hamba, gusti patih..”
Tapal batas saserahan
merupakan sebuah lorong memanjang yang akan langsung tembus ke
alun-alun bubat sebelah tenggara dimana pada masa itu dipergunakan untuk
menerima upeti-upeti dari kerajaan bawahan majapahit yang diwaktu-waktu
tertentu mengirimkan upetinya.
Sedengkan tapal batas pasanggrahan,
yang terletak disebelah kiri dari tapal batas seserahan merupakan
tempat dimana dari gapura bajang batu langsung tembus kearah alun-alun
selatan dan dipergunakan buat acara-acara besar akan dilangsungkan
seperti menerima tamu agung atau acara seperti pernikahan.
Setelah
memantau dan mengatur segala sesuatu buat penyambutan calon penganten
dari padjajaran mahapatih gadjah mada kembali ke istana kedaton
majapahit.
Tiga hari kemudian
Mentari mulai condong kebarat ketika rombongan dari padjajaran memasuki kota raja majapahit
“paman rakyan jala watra, ternyata kota raja majapahit sangat ramai..”
Ujar sang prabu linggabuana sambil memperlambat laju kudanya.
“benar gusti prabu..sebentar lagi kita memasuki pintu gerbang bajang batu yang legendaris itu..”
Rombongan
mempelai penganten wanita dari padjajaran itu terus melaju memasuki
pintu gerbang gapura bajang batu, dua orang prajurit penjaga gerbang
segera menyambut iring-iringan tersebut dan mengarahkannya kearah kanan
dimana tapal batas saserahan berada, dialun-alun bubat sebelah tenggara rombongan dari kerajaan padjajaran ini beristirahat.
“kakang
demung wira seta, kenapa kakang menempatkan rombongan dari padjajaran
itu ditapal batas saserahan, bukankah gusti patih gadjah mada menyuruh
kita menempatkannya di tapal batas pasanggrahan..”
“kau diam saja prajurit, apa kau tidak mau naik pangkat..”
“maksud kakang demung apa..”
“ini kesempatan membuat mahapatih gadjah mada bangga dengan kita..”
“saya belum paham maksud kakang demung..”
“kau
tentu masih ingat dengan sumpah palapa yang di ikrarkan mahapatih
gadjah mada beberapa waktu lalu sebelum era raja hajam wuruk..raja yang
sekarang ini..”
“kita semua dimajapahit mengetahuinya kakang…”
“nah..hanya
tatar kerajaan pasundan yang belum ditaklukan oleh majapahit, dengan
menempatkan mereka ditapal batas saserahan, secara tidak langsung
kerajaan sunda itu telah tunduk dibawah kekuasaan majapahit dan sumpah
palapa dari mahapatih gadjah mada sempurna sudah, dan tidak menutup
kemungkinan kita akan dinaikan pangkatnya..”
“tapi kakang demung…”
“sudahlah prajurit..kau lanjutkan saja tugasmu..”
Prajurit
majapahit yang bernama lintang ngalih ini Cuma diam, dia serba salah,
disisi lain jabatan dan pangkat yang dijanjikan demung wira seta sebagai
atasannya begitu menggodanya, sedang sisi hati kecilnya merasa
miris…namun, kembali iming-iming kenaikan pangkat dan kedudukan
membutakan akal sehatnya.
ooooOoooo
“perwira, kenapa prabu hajam wuruk belum menjemput kami..”
Kata rakyan jalawatra pada satu saat bertanya pada demung wira seta
“menjemput apa..bukankah kalian datang dari padjajaran untuk menyerahkan upeti yaitu putri padjajaran sebagai tanda taklukan..”
Rakyan jalawatra tersentak, begitupun dengan prabu linggabuana sampai terhenyak dari duduknya.
“maksud perwira apa..”
“atas
perintah mahapatih gadjah mada, rombongan kalian ditempatkan di tapal
batas saserahan yang artinya kalian orang padjajaran takluk atas duli
majapahit, dengan putri padjajaran sebagai upetinya..”
“jaga mulutmu perwira..panggil mahapatih gadjah mada kemari..”
Ujar rakyan jalawatra marah
“ini
perintah langsung mahapatih, cukup jelas..sekarang letakan senjata
kalian sebelum menghadap prabu hajam wuruk..” sentak demung wira sengit
“kurang ajar..kalian…”
Rakyan jalawatra cabut kujang yang terselip dipinggang kanannya
“hentikan paman rakyan jalawatra..”
Sebuah suara penuh wibawa memecah ketegangan diantara keduanya
“gusti prabu kita telah dihina dan dijebak..” ujar rakyan jalawatra berang
“paman rakyan jalawatra mohon sarungkan kembali kujang mu…”
“maap gusti prabu, tidak sepantasnya memohon pada hamba…”
Ujar
rakyan jalawatra sambil rangkapkan kedua tanganya kekening setelah
menyarungkan kembali senjata kujang yang ada digenggamanya.
Raja pasundan ini dengan tersenyum arip hampiri perwira demung wira seta
“perwira, mungkin ini salah paham..mohon panggil mahapatih gadjah mada menemui kami..”
Perwira
demung wira seta tergagap begitu raja agung tatar pasundan ini
memandang dirinya, wibawa dari aura raja padjajaran ini memang sungguh
luar biasa, namun…karena kepalang tanggung dengan apa yang diperbuatnya,
maka demung wira seta dengan suara bergetar menjawab..
“maap..maap..gus..gusti prabu..ini sudah jelas perintahnya..mohon dimaklumi..”
“baiklah
perwira, beri kami waktu untuk berunding..” ujar prabu linggabuana
selanjutnya, perwira demung wira seta Cuma mengangguk dengan tangan
masih gemetaran.
“kakang demung..bagai mana ini…” ujar prajurit lintang ngalih demi dilihatnya atasannya mandi keringat dan gemetaran
“kau siapkan pasukan mu…” ujar demung wira berbisik dan masih gemetaran
“tapi..kakang…”
“ini perintah..siagakan pasukan..cepat..”
“baik..kakang…”
Dengan
terburu-buru prajurit lintang ngalih kembali kebarisan prajurit
majapahit, sementara prabu lingga buana dan rakyan jalawatra tampak
berbincang serius
“para
punggawa padjajaran, kita datang ke majapahit dengan niat baik..tapi
mengapa kita diperlakukan seperti ini..” ujar prabu lingga buana memecah
kebekuan
“maap, gusti prabu..sudah jelas kita dijebak dan dihina..”
“lantas apa yang harus kita lakukan..”
“kita lawan mereka, demi nama baik padjajaran..”
“harus ada yang menyelamatkan putriku…” ujar prabu linggabuana bergetar
“saya juga akan ikut membela nama baik padjajaran ayahanda prabu..”
Ujar dyah pitaloka, yang tiba-tiba hadir dalam perundingan itu
Prabu
lingga buana tercenung manakala menatap putrinya dengan pedang giok
hijau tergenggam ditangan kanannya, sekilas ingatannya tertuju pada
adiknya sang mangku bumi bunisora yang tidak ikut serta ke majapahit.
“putriku..ayahanda salah, tidak mendengarkan pirasat pamanmu mangku bumi bunisora..”
“ayahanda sudahlah..semuanya telah terjadi…”
“baiklah..demi nama baik padjajaran kita adakan perlawanan…”
Dan begitulah….
Walau
dengan jumlah prajurit yang sedikit ksatria-ksatria padjajaran
mengadakan perlawanan demi menjaga wibawa dan nama baik padjajaran,
keributan dialun-alun bubat sebelah tenggara inilah yang membuat
sungging prabangkara melesat kearah dimana teriakan dan denting suara
senjata beradu terdengar.
Sesampainya
dialun-alun bubat, sungging prabangkara tersentak, dihadapan matanya
terpangpang pemandangan yang sangat mengerikan pasukan padjajaran yang
berjumlah kecil tampak dibantai dan dilibas habis oleh prajurit
majapahit.
Sang
prabu lingga buana dengan senjata kujang emas tampak bertarung dengan
gagah berani, setiap sambaran kujangnya sepuluh prajurit majapahit roboh
bermandikan darah, begitupun dengan rakyan jalawatra kujang perak
ditangannya bagai air bah menerjang setiap prajurit majapahit yang
mendekatinya.
Sementara
dyah pitaloka dengan pedang giok hijau ditangan tampak bagai alap-alap
menyambar kian kemari, dengan sekali gerakan pedang sepuluh prajurit
dapat dirobohkannya.
Keributan
dibubat terdengar sampai dikedaton majapahit dan memaksa prabu hajam
wuruk dan mahapatih gadjah mada segera berangkat ke alun-alun bubat
Melihat
bayaknya prajurit majapahit yang tewas, mahapatih gadjah mada segera
turun gelanggang dan menyuruh prajurit bhayangkara membatu menghadapi
ksatria-ksatria padjajaran yang dalam waktu singkat satu demi satu
tumbang berguguran bersimbah darah ditanah bubat.
“kalian orang padjajaran kenapa membantai prajurit majapahit..”
Teriak patih gadjah mada menggelegar, dan langsung terjun kegelanggang menghadapi rakyan jalawatra
“kau yang bernama gadjah mada..” teriak rakyan jalawarta geram
“benar anak muda..aku gadjah mada…”
“terima seranganku…”
Dengan gencar kujang perak ditangan rakyan jalawarta membeset kearah tenggorokan patih majapahit ini
Dengan ringan patih gadjah mada miringkan sedikit badannya kesamping, kujang perak lewat sesenti dari tenggorokannya..
Sepuluh
jurus telah berlalu, disatu kesempatan rakyan jalawatra melihat
kelengahan dari patih gadjah mada, pemuda ini lantas merangsek kedepan
mengarah ketiak patih gadjah mada
“breeeessss…”
Tak
dinyana Keris dari patih gadjah mada telak menghujam dada rakyan
jalawatra dan memaksa kesatria padjajaran ini ambruk ketanah bubat
dengan nyawa lepas dari raganya.
Melihat
rakyan jalawarta tewas, prabu lingga buana lesatkan badannya dan dalam
sekejap telah berhadapan langsung dengan patih gadjah mada.
Pertempuran
di alun-alun bubat semakin seru dan sengit, tapi apalah daya pajurit
padjajaran yang berjumlah sedikit, satu per satu gugur dan tumbang .
Prabu
linggabuana terkapar bermandikan darah dengan keris menancap didada
sebelah kirinya, melihat ayahhandanya tewas putri dyah pitaloka yang
tengah mengamuk dengan pedang giok hijaunya menjerit dan menubruk tubuh
prabu linggabuana.
“kalian pembunuh…” ujar dyah pitaloka geram
“putri kenapa kalian menyerang kami..” ujar patih gadjah mada bergetar
“tanyakan saja pada setan dineraka…”
Jerit
dyah pitaloka sambil kembali babatkan pedang giok hijaunya kearah patih
gadjah mada, putri padjajaran ini tak memperdulikan lagi keadaan
dirinya, amarahnya telah memuncak diubun-ubun menyaksikan orang-orang
yang dikasihinya tewas secara mengenaskan, tapi lambat laun tenaga dyah
pitaloka terkuras habis dan dalam keputus asaan dari balik rambutnya
dicabutnya patrem atau tusuk konde berupa keris kecil…dan…menusukannya
di jantungnya sendiri…
Dyah
pitaloka belapati dengan sebilah patrem bernama saka domas, tubuh putri
padjajaran ini ambruk ketanah dan disaat pandangan matanya kabur
sesosok bayangan telah menyambarnya dan membawanya ke tempat yang aman.
“si..siapa..siapa..kamu..”
“aku sungging prabangkara…tenang gusti putri.saya akan menyelamatkanmu..”
Sesaat tubuh dyah pitaloka tersentak, dipandangnya dengan sayu pemuda yang ada dihadapannya
“benar..kau, sungging prabangkara..”
“benar gusti putri..”
Dyah pitaloka tersenyum
“bawalah pedang giok hijau dan patrem saka domas ini ke muara sungai sugaluh..”
“ada apa disana putri..”
“jangan banyak bertanya dan berfikir..lakukan sajaaaaahhh..”
Bersamaan denggan semilir hembusan sang bayu, sosok dyah pitaloka terkapar dalam pelukan sungging prabangkara.
Sungging
prabangkara tertegun manakala mengamati secara detai wajah dari putri
padjajaran ini perlahan berubah menjadi seorang wanita paruh baya,
dialah emban dalem..pengasuh dari dyah pitaloka…lalu kemana dyah
pitaloka yang asli….
ooooOoooo
Alun-alun
bubat tampak sepi dan lengang, semilir angin utara membawa bau busuk
kesesantro alun alun bekas pertempuran, semua jasad prajurit majapahit
dan padjajaran telah dikremasi dengan layak, demikian pula dengan jasad
yang disangka dyah pitaloka.dan prabu linggabuana.
Sementara
itu sungging prabangkara yang telah sampai dimuara sugaluh tampak
terpana ditempatnya makanala sebuah sampan dengan seorang gadis jelita
tampak menunggunya, gadis itu menyuruhnya naik kedalam sampan dan tak
lama keduanya melaju dibawa sampan menyusuri sungai sugaluh.
Selesai
salam bhumi deres mili
salam bhumi deres mili
Akan datang : Sang Durjana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar