Hembusan
angin timur dari lereng pegunungan arjuna begitu menyejukan, dari
lamping bukit seorang pemuda berparas gagah terlihat berdiri dipinggir
tebing yang menjorok kelembah dimana sebuah perdikan yang dikelilingi
hutan pinus tampak meremang tersaput kabut senja hari, sesaat pemuda
berbaju hitam ini betulkan letak buntalannya di punggung sebelah kiri,
matanya terus mengawasi perdikan dikaki gunung arjuna itu.
“welangun, inikah perdikan dimana aku dilahirkan..”
Gumam
pemuda berbaju hitam yang tak lain dari sungging prabangkara, setelah
beberapa hari lalu dari kota raja majapahit dimana pemuda ini tanpa
sengaja memperoleh anugrah dari prabu hajam wuruk yang merasa berkenan dengan lukisan putri padjajaran dyah pitaloka yang dilukis sungging prabangkara.
“seperti apakah kondisi biungku sekarang..lebih baik aku segera keperdikan itu..”
Dengan
sekali jejekan kakinya ketanah sosok sungging prabangkara dalam sekejap
terlihat menuruni bukit dengan ringannya, pemuda ini tak menyadari
sekelebatan bayangan dengan sebat mengikutinya dari belakang, ketika
pemuda berbaju hitam ini mulai memasuki perbatasan perdikan sosok
bayangan yang menguntitnya raib diatara rimbunnya pokok-pokok pinus yang
melingkar mengelilingi perdikan welangun.
Sungging
prabangkara tapak melangkah pelan memasuki gerbang perdikan welangun,
dada pemuda gagah ini serasa sesak oleh perasaan rindu terhadap sosok
seorang ibu yang selama belasan tahun hanya berada dalam bayangannya
saja sesuai dengan yang diceritakan gurunya ketika masih berada dipuncak
pegununga semeru.
Disebuah
pinggir hutan kecil sungging prabangkara hentikan langkahnya, terpaut
sepuluh tombak dihadapanya berdiri satu pondok panggung yang
keseluruhanya terbuat dari rotan, di halaman depan terlihat seorang
perempuan kurus paruh baya tengah membelah pokok-pokok pinus dengan
sebilah golok, sungging tampak tercenung ditempatnya berdiri, kelopak
matanya terasa panas dan ketika menarik napas dirasakannya buliran air
bening meluncur dipipinya.
“inikah biungku..kasihan dalam umurnya yang mulai sepuh semuanya dikerjakan sendiri..”
Sungging
prabangkara seakan terpaku ditempatnya berdiri, matanya terus mengawasi
perempuan yang adalah biungnya sendiri itu dengan berbagai perasaan
yang berkecamuk sampai perempuan yang bernama welas ini menyadari ada
seseorang yang berdiri mengawasinya, welas lantas berjalan menghampiri
sungging prabangkara.
“anak muda, saya perhatikan dari tadi..sepertinya sedang bingung..”
“biung..apakah biung ini bernama welas..”
Ujar sungging prabangkara bergetar, ketika menyebut welas dengan panggilan biung
Welas sesaat perhatikan wajah anak muda dihadapanya dengan penuh tanda Tanya
“aku sungging prabangkara, anak biung..”
Welas
yang masih tercekat tampak hampiri pemuda ini, dan tangisnya pecah
manakala sungging prabangkara menyingkap baju hitamnya dibagian dada,
disana tertera rajah yang selama belasan tahun dirindukannya “rajah kala
cakra”.
“jadi kamu ini sungging prabangkara anak biung itu…”
ibu
dan anak ini tampak berangkulan dengan eratnya, keduanya larut dalam
tangis kebahagiaan beberapa saat kemudian ibu dan anak ini tampak
berbincang diberanda rumah panggung.
“orang yang selalu memakai caping bamboo itu adalah resi mahesa jenar, bopo biung..”
“biung, jadi selama ini, aku digembleng oleh kakek ku sendiri..”
“begitulah sungging, tapi tahukan kamu bahwa dirimu masih memiliki saudara kembar..”
“kakek
guru, telah menceritakan semuanya pada ku biung..tapi sayang saudara
kembarku yang bernama sanjaya kini telah menjadi pendekar kejam
angkara..”
“jadi saudaramu itu masih hidup dan bernama sanjaya..”
“benar biung, dan menurut kabar sekarang berada di partai halilintar sewu..”
“sudahlah sungging, kamu istirahat dulu..biung akan memasak makanan buat mu.”
Sungging
prabangkara Cuma anggukan kepalanya, sambil duduk dilangkan rumah
disapukan pandangan matanya pada lereng-lereng gunung arjuna yang mulai
kelihatan dimana kabut perlahan pergi ditiup sang bayu, namun pemuda ini
tercekat dari lamunannya dirasakanya sebuah sambaran angin yang begitu
cepat melabrak dirinya.
“brruuuuaaaakkk..!!!”
Kursi
rotan yang diduduki sungging prabangkara hancur berkeping-keping,
sedang pemuda berbaju hitam ini dengan sigap lentingkan badannya keatas
bersalto beberapa kali diudara dan ketika jejakan kakinya kembali
ketanah, betapa terkejutnya pemuda ini begitu mengetahui siapa yang
menyerangnya dengan mendadak.
“kisanak mangkurat, mengapa menyerangku…”
Teriakan
sungging prabangkara tenggelam dalam gemuruh sambaran angin yang
kembali dilancarkan oleh sosok yang menyerangnya dengan gencar, sosok
yang tak lain dari mangkurat salah satu telik sandi majapahit ini
kembali lancarkan tendangan berantai kearah sungging prabangkara.
“kisanak mangkurat..jelaskan dulu..mengapa kau menyerangku..”
“buat apa..sudah jelas semuanya kau yang membunuh resi palwa dan merampas pedang sangga buana itu..”
Sungging prabangkara tercekat, namun pemuda ini segera memaklumi apa yang sedang terjadi
“kisanak mangkurat kau salah paham..degarkan dulu penjelasannku..”
“bukan
kah kau sanjaya, yang menyamar menjadi diriku..kini kau memakai nama
sungging prabangkara..setelah itu apa lagi..kembalikan pedang sangga
buana pada ku..”
“kau salah paham kisanak mangkurat..dengarkan dulu penjelasanku…”
Kegaduhan
diluar rumah memaksa welas ibu dari sungging prabangkara keluar dari
rumahnya dan betapa terkejutnya perempuan ini , menyaksikan anaknya
sedang diserang oleh seorang pemuda dengan rambut digelung keatas.
“hentikan..mengapa kau menyerang sungging anakku..”
Teriak perempuan paruh baya ini sambil berdiri ketakutan ditengah pintu
“bibi..anakmu ini seorang pembunuh..dan pencuri..”
Teriak mangkurat yang terus mencecar sungging prabangkara dengan jurus-jurus mautnya
“biung..kisanak ini salah paham padaku..mungkin yang dimaksudnya adalah sanjaya kembaran diriku…”
Mendengar teriakan sungging prabangkara, mangkurat hentikan serangannya
“kembaran..maksudnya, kau mempunyai saudara kembar..”
Ujar mangkurat, sambil tarik pulang jurus totokan yang akan diarahkan kepangkal leher sungging prabangkara.
“benar kisanak apa yang dikatakan sungging..bibi memiliki anak kembar , dengan rajah kala cakra didada masing-masing..”
Mangkurat tampak menarik napas sesaat, tak lama dijabatnya erat tangan sungging prabangkara
“andika
sungging, maapkan diriku.. sebelum tewas mpu palwa Cuma member tahu
cirri dari pembunuhnya bernama sanjaya yang memiliki rajah kala cakra
didadanya..”
Sungging prabangkar Cuma tersenyum, tak lama ketiganya tampak duduk diteras rumah welas yang kini tampak porak-poranda.
“sekali lagi saya minta maap..sungging dan bibi..”
“tidak apa-apa kisanak mangkurat”
“jadi sanjaya itu sekarang berada di partai halilintar sewu..”
“menurut
kabar, keberadaan partai halilintar sewu sangat misterius dan tak
seorang pun dari kalangan pendekar dan pihak kedaton majapahit yang
mengetahuinya, namun sepak terjangnya sudah sedemikian meresahkan..”
Ujar welas ambil bersandar dilangkan rumahnya yang tinggal separoh akibat kena tendangan mangkurat.
“baiklah andika sungging dan bibi, saya pamit mudah-mudahan kita bertemu kembali dalam keadaan yang baik..”
“silahkan kisanak palwa..”
Telik
sandi majapahit ini rangkapkan kedua telapak tangannya didada sebelum
sosoknya melesat bak alap-alap dan detik berikutnya bayangannya hilang
diantara rimbunnya pepohonan pinus diatas tebing.
ooooOoooo
Taman
sari kedaton pakuwan padjajaran meremang dalam lembayung petang disenja
hari nan sejuk, semilir angin timur dari lereng pegunungan salak
merambah rumpun-rumpun bunga rumput yang bertebaran mengelilingi telaga
berair biru, dyah pitaloka putri kedaton padjajaran tampak sarungkan
pedang giok hijau dalam warangkanya, dara ayu ini baru saja selesai
melatih olah kanuragannya disaat yang sama satu sosok telah berdiri
dihadapannya.
“ayahanda prabu..gerangan apa sesore ini berkenan ke taman sari..”
Sosok yang ternyata raja agung pasundan prabu lingga buana sesaat tatap paras wajah putrinya
“putri
ku, pitaloka dirimu telah beranjak dewasa kelak kedaton pakuwan
padjajaran akan terwaris kepadamu, namun sebagai seorang wanita kau
punya keterbatasan..”
Prabu lingga buana hentikan sejenak ucapannya, menanti reaksi dari sang putri dyah pitaloka
“maap ayahanda prabu, ananda belum memahami maksud dari ayahanda..”
“utusan dari majapahit barusan datang menyampaikan pinangannya atas dirimu untuk dipersunting sebagai permaisuri dari prabu hajam wuruk raja sanegara, bagaimana menurut pendapatmu pitaloka..”
Dyah
ayu pitaloka masih tertunduk diam, hatinya gundah disisi lain dirinya
masih memendam rasa dan asa pada sungging prabangkara, sosok pemuda yang
dicintainya walau mereka dipertemukan dalam mimpi, sementara sebagai
anak yang berbakti sulit rasanya untuk menolak kehendak ayahnya, yang
notabennya sebagai seorang prabu raja sunda yang diagungkan kawula dan
rakyatnya.
“putri
ku, dyah pitaloka, dirimu sudah dewasa tentu sudah punya pandangan
kedepan akan masa depanmu, ayahanda tidak akan memaksakan kehendak semua
tergantung keputusan dirimu..”
Ujar prabu lingga buana arif, raja
sunda ini maklum diumur putrinya yang ke tujuh belas tahun itu,
tentunya sudah memiliki pandangan dan pilihannya sendiri terhadap lawan
jenisnya.
“ayahanda prabu, hamba serahkan semua keputusan pada ayahanda..”
“jadi ananda pitaloka, menerima pinangan itu..”
Dara
ayu putri padjajaran ini Cuma mengangguk, kemudian rangkapkan kedua
tangannya didepan dada sebelum akhirnya sosoknya raib dibalik tembok
taman sari.
Setelah
kepergian dyah pitaloka, prabu lingga buana beranjak menemui adiknya
yang sekaligus mangkubumi kerajaan padjajaran, sang bunisora suradipati.
“adikku mangkubumi, bagaimana menurut pendapatmu tentang lamaran prabu hajam wuruk itu..”
Sang bunisora suradipati sesaat rangkapkan kedua tangannya didada sebelum menjawab pertanyan prabu lingga buana
“maap
kakang prabu, kenapa musti dimajapahit pernikahan itu dilangsungkan,
sebagai adat orang timur tabu rasanya seorang wanita mendatangi pihak
pria..”
“betul
apa yang kau katakana mangkubumi, tapi kita tahu majapahit adalah
kerajaan besar dan agung dimasa sekarang ini, jadi wajar kalau kita
menghormatinya..lagipula pendiri majapahit terdahulu dyah sanggrama
wijaya masih keturunan orang pasundan, jadi pernikahan ini sekaligus
sebagai sarana mempererat silaturahmi antar keturunan orang sunda..”
“tapi
kakang prabu, saya tetap was-was apalagi patih mereka gajah mada tengah
gencar-gencarnya memperluas wilayah majapahit dengan sumpah palapanya
itu..”
“niat baik prabu hajam wuruk sudah jelas adikku..”
Sang
mangkubumi bunisora hanya mengangguk, namun bhatinnya tetap merasa
tidak enak, mangku bumi muda ini merasakan sesuatu hal yang buruk akan
terjadi, tapi apa…
Dan pada hari yang ditentukan berangkatlah rombongan dari kedaton padjajaran ini melalui jalur laut menuju ke majapahit.
ooooOoooo
Pada episode, Petaka Pedang Sangga Buana dikisahkan sanjaya murid sekaligus anak dari pemimpin partai lintas aliran Halilintar sewu
atas perintah wiku Dharma persada memerintahkan sanjaya untuk mengambil
pedang sangga buana yang tengah dibuat oleh mpu palwa sebagai sarana
agar sanjaya dapat menuntut ilmu pada pertapa sapta raga dinegri
hindustan supaya dapat menandingi jurus kuntum kilat melecut raga
tingkat tiga yang sekarang dikuasai oleh manggala si arit iblis musuh
bebuyutannya yang telah mencuri kitab pusaka milik partai halilintar
sewu (untuk lebih jelas, baca episode: rajahkala cakra dan petaka pedang sanggabuana, pen).
Kedai
makanan dipinggir sungai gangga sebelah hilir ini begitu ramai, apalagi
disaat itu sedang ada upacara perayaan hari besar, ditambah makanan dan
minuman yang dijual dengan harga terjangkau dikalangan rakyat dan juga
pelayan-pelayan muda yang memakai kain sari gemerlapan menambah suasana
semakin semarak, maka tak heran kedai makanan milik tuan govinda ini
menjadi buah bibir masyarakat Hindustan kala itu.
Dipojok
warung seorang pemuda tengah asik menyantap makanannya, agaknya pemuda
ini tak memperdulikan hiruk-pikuk disekitarnya sesekali sudut matanya
mengawasi seorang tua gemuk yang tengah berbincang dengan beberapa tamu,
dialah tuan govinda pemilik kedai makan itu, sesekali tangan pemuda
yang tengah makan itu memasukan sesuatu kedalam kain hitam yang ada
dipinggangnya, detik berikutnya dengan berjingkat berusaha mencapai
pintu kedai.
“brrruuuaaakkk…!!!”
Semua mata tertuju kesatu tempat, disana seorang pemuda kurus tampak terpana kain hitam yang ada dipinggangnya melorot jatuh dan dari dalam kain hitam itu muncul berbagai makanan, berupa buah dan roti.
“dia lagi..pengawal tangkap pencuri itu…”
sungut tuan govinda, disusul beberapa orang lelaki kekar berhamburan mengurungnya
“ampuni saya tuan..ampun..”
“pencuri tengik, ketangkap basah minta ampun..seret dia keluar dan beri pelajaran..” semprot tuan govinda berang
“tungguuu..lepaskan dia..”
Sebuah
suara bergema menggetarkan dinding-dinding kedai, seorang pemuda gagah
berambut gondrong dengan parut melintang dipipi kiri serta sebilah
pedang dipunggung kini telah berdiri diantara para pengawal kedai dan
lelaki kurus yang tadi berusaha mencuri roti dan buah-buahan.
“siapa kau anak muda..” semprot tuan govinda
“berapa harga semua makanan yang diambil kisanak ini..”
“lima rupee…apa kau temannya pencuri ini anak muda..”
Pemuda gagah ini lantas keruk saku bajunya, dikletakkannya beberapa keeping diatas meja
“apa ini cukup tuan..”
“lebih..lebih dari cukup..anak muda..silahkan mampir di kedai kami..”
Pemuda
gagah ini Cuma diam, tak lama tinggalkan kedai pinggir sungai gangga
dengan cepat, namun setelah berjalan beberapa lie sosoknya tampak
melayang diudara detik berikutnya telah berada dibelakang satu sosok
yang mengendap-endap diantara tebing.
“kenapa kau mengikuti aku…”
Sosok pemuda kurus ini tersentak manakala orang yang dikuntitnya tiba-tiba sudah berada dibelakangnya
“maap tuan pendekar..maap..”
“siapa kamu..”
“saya siraj, terimakasih tadi sudah menyelamatkan saya dari para pengawal kedai..”
“kenapa kamu mencuri..”
“mari mampir dulu kegubuk saya..tuan pendekar..”
Pemuda gagah dengan parut melintang dipipi kirinya ini lantas ikuti lelaki ceking yang mengaku bernama siraj ini.
Gubuk
yang dikatakan siraj ini tak lain dari sebuah cegukan gua yang cukup
besar berada dibawah sebuah tebing yang menjulang, semakin kedalam
memasuki gua semakin hawa dingin menyergap sum-sum tulang dan ketika
sampai disebuah ruangan gua yang cukup besar pandangan pemuda gagah ini
terhenyak, didepan sana beberapa puluh tubuh munggil tergeletak hanya
beralaskan selembar kain lusuh disampingnya anak-anak bau kencur
berusaha menenangkan rengekan dan tangisan dari orok-orok ini.
“siapa mereka siraj..”
“mereka
adalah anak-anak yang tak diharapkan lahir didunia oleh orang tuanya,
dibuang begitu saja bak sampah..dan hanya makanan dari hasil mencuri
yang mereka makan sehari-hari..”
“kau melakukannya seorang diri..”
“benar, saya lakukan semua ini demi terbebas dari kutukan..”
“kutukan..maksudmu..”
“dulu
saya adalah seorang pemuja iblis, puluhan nyawa orok tak berdosa
menjadi tumbal, hingga satu ketika saya melanggar pantangan dan untuk
terbebas dari kutukan ini saya harus mengasuh orok-orok dan anak
terlantar ini sampai kutukan itu lepas, tapi Cuma mencuri keahlian saya
dalam memberi mereka makanan..”
“baiklah siraj, cukup..aku ingin menanyakan sesuatu pada mu..”
“apa itu tuan pendekar..”
“kau mengetahui sebuah tempat bernama jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya..”
Pemuda ceking ini tampak tersentak, bayangan ketakutan tergambar jelas diwajahnya
“kenapa siraj..”
“ditempat itulah pertama kali saya menjadi pemuja iblis..”
“bisa kau antar aku kesana..”
“untuk apa tuan pendekar, ada keperluan apa..”
“kau tidak usah tahu..antarkan saja aku kesana..”
“ba..baik..baiklah ..tuan pendekar..”
ooooOoooo
selesai
Salam Bhumi Deres Mili
Berikutnya: Embun Merah Semenanjung Himalaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar